TEORI POSKOLONIAL
MENGENAI PERUBAHAN SOSIAL
Oleh:
Kelompok 03
BAHARUDDIN
HAMZAH
HARMAN
JURUSAN
PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH
FAKULTAS ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
NEGERI MAKSSAR
2015
TEORI POSKOLONIAL MENGENAI PERUBAHAN
SOSIAL
A. POSKOLONIAL: Dikatomi Barat Versus Timur
Studi poskolonial merupakan
sebuah studi yang relatif masih baru dalam perkembangan ilmu sosial di dunia.
Studi ini menawarkan sebuah perperktif “ baru “ dalam menganalisis dominasi
negara barat atau kelompok negara-negara Timur. Negara barat di posisikan
sebagai kelompok superior sedangkan
negara timur di posisikan sebagai kelompok inferior
yang tertindas.
Moore dan Gilbert (1997)
menjelaskan bahwa teori poskolonial yang lahir pada paruh kedua abad ke-20
sering disebut sebagai motode dekonstruksi terhadap model berfikir dualis
(biner), yang membedakan antara “ timur” dan “ barat “, meskipun mereka yang
mengaku sebagai ahli dengan perpektif poskolonial tidak benar-benar mampu lepas
dari jerat ini.
B. Edward Said dan
Orientalisme
Menurut Said, Orientalisme,
yang menggambarkan hubungan dua bagian antara timur dan barat ini merupakan
kunci dalam teori poskolonial. Said berpendapat bahwa Barat tidak akan ada
tanpa Timur, dan sebaliknya. Dengan kata lain, dua kelompok tersebut bersifat
komplementer (saling melengkapi).
Istilah orientalisme menurut
Said dapat didefinisikan dengan tiga cara yang berbeda. Pertama, memandang orientalisme sebagai suatu metode atau paradigma
berfikir yang berdasarkan epistemologi dan ontologi yang secara tegas
membedakan antara Timur dan Barat; Kedua,
orientalisme dapat juga dipahami sebagai gelar akademis untuk menggambarkan
serangkaian lembaga, disiplin, dan kegiatan yang umumnya terdapat pada
universitas Barat yang peduli pada kajian masyarakat dan kebudayaan Timur; Ketiga, melihat orientalisme sebagai
lembaga resmi yang pada hakikatnya peduli pada Timur.
Orientaisme adalah konstruksi
historis terhadap masyarakat dan budaya Timur sebagai “ sesuatu yang asing ,
sering kali bahkan dilihat sebagai sejenis alien atau objek yang indah dan
eksotis.
Said melihat penjajahan Barat
atas Timur, baik Timur maupun Timur Dekat (Timur Tengah), bukan saja dilakukan
melalui penjajahan fisik. Penjajahan sudah dilakukan melalui teks bahasa,
budaya serta pembangunan citra negatif mengenai Timur oleh Barat.
C. Spivak: Perempuan dan Subaltern
Spivak merupakan tokoh
poskolonial yang mencoba memasukkan variabel janis kelamin sebagai subjek
kajiannya untuk melihat adanya hubungan yang tidak setara dengan antara
laki-laki dan perempuan yang kemudian dianalogikan dalam hubungan oposisi
biner.
Feminisme memberikan
perhatian terhadap bahasa yang berperan dalam membentuk identitas dan
mengonstruksi subjektivitas. Secara khusus, bahasa menjadi alat untuk melawan
budaya patriarki dan kekuasaan imprealis.
Teks teori feminis berkaitan
erat dengan teori identitas dalam wacana dominan. Teori ini menawarkan berbagai
strategi perlawanan terhadap kontrol yang menetukan pemaknaan identitas diri
kaum perempuan. Sebenarnya perbedaan antara laki-laki dan perempuan adalah
bukan masalah fisik atau biologis, namun labih berkaitan dengan konstruksi
sosial yang merupakan hasil pertarungan ideologi antara kelas-kelas sosial
dalam masyarakat.
Spivak memperjuangkan
pembebasan melalui penggalian kesadaran historis yang semetinya menjadi
kesadaran yang tidak dapat dilepaskan dari masalah-masalah lokal.
D. Fanon: Identitas, Ras, dan Etnisitas
Teori panon yang cukup
terkenal adalah mengenai teori identitas. Konsep identitas memiliki makna yang
cukup luas. Castells menjelaskan beberapa hal penting untuk dapat memahami
megenai konsep identitas. Menurut
Castells, identitas adalah sumber pemaknaan dan pengalaman orang.
Identitas merupakan proses pembentukan makna yang berdasar pada sebuah atribut
budaya tertentu, atau seperangkat atribut kultural, yang diprioritaskan diatas
sumber-sumber pemaknaan yang lain. Identitas erat kaitannya dengan proses internalisasi
nilai-nilai, norma-norma, tujuan-tujuan, ide-ide. Pada hakikatnya identitas
dibedakan menjadi dua, yaitu identitas individu dan identitas kelompok
(kolektif).
Fanon secara implisit juga
menjelaskan bahwa pendefinisian ras dab etnisitas selalu merupakan hasil proses
sejarah dan konstruksi politik yang dominan di samping permasalahan kebudayaan.
Melalui sejarah kolonisasi, sang penjajah melakukan konstruksi secara subjektif
terhadap identitas kaum kulit hitam yang dijajah dan dirinya sendiri.
E. Bhaba: Mimikri dan Hibriditas
Konsep utama dalam teori
poskolonial Bhaba adalah mimikri dan hibriditas. Mimikri memiliki dua
pengertian. Pertama, dalam arti
bahasa, mimikri merupakan sebuah keunikan yang dimiliki binatang tertentu,
seperti bunglon dan sejenis serangga seperti kupu-kupu, yang memiliki kemampuan
untuk menyerupai warna atau unsur tertentu ditempat binatang tersebut tinggal. Kedua, peniruan atau mimikri yang dipakai
Bhaba cenderung pada mimikri dalam arti bahasa, yakni kemampuan seseorang untuk
meyerupai orang lain yang lebih kuat atau mempunyai kemampuan lebih besar dari
dirinya.
Terminologi negara dunia
ketiga dan negara maju juga menjadi dua kunci dalam gagasan Bhaba. Bhaba
menemukan adanya proses “mimikri” digunakan untuk menggambarkan proses peniruan
atau peminjaman berbgai elemen kebudayaan. Fenomena mimikri tidaklah
menunjukkan ketergantungan sang terjajah kepeda yang di jajah, tetapi peniru
menikmati dan bermain dengan ambivalensi yang terjadi dalam proses imitasi
tersebut. Dengan demikian, mimikri dapat dipandang sebagai strategi menghadapi
dominasi penjajah.
Istilah hibriditas mengacu
pada proses ketika penulis dan pemikir pribumi menyingkapnya hakikat wacana
pascakolonial yang bersifat beraneka ragam dan kontigen, namun berlindung di
balik klaim-klaim logika tunggal dan absolut. Hibriditas atau hibridasi adalah
bentuk lain dari mimikri; yaitu sebuah teks hibrid yang berbeda dari teks
“resmi” wacana kolonial yang merupakan produk tindakan meniru (mimikri).
Keragaman budaya adalah
sebuah objek epitemologi budaya sebagai objek pengetahuan epmiris sedangkan,
perbedaan budaya merupakan pengacuan budaya yang “berpengetahuan luas”,
berwibawa, mampu membangun sistem identitas budaya. Keragaman budaya bahkan
dapat muncul sebagai sistem artikulasi dan pertukaran tanda-tanda budaya
tertentu. (Bhabha, 1995).
F. Studi Poskolonial dan Perubahan Sosial
Said menjelaskan bahwa dampak
kolonisasi telah menyebabkan negara terjajah seolah tidak berdaya menghadapi
dominasi Barat dalam berbagai bentuk.
Spivak menguraikan mengenai
penderitaan Timur dan kelompok-kelompok subaltern
lainnya yang terjajah dan berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan.
Kelompok minoritas, kaum perempuan yang dikuasai laki-laki, semuanya mengalami
penderitaan.
Fanon, tertarik pada untuk
mendalami masalah kolonisasi yang dialami kaum kulit hitam oleh kulit putih.
Akibat penjajahan ini, kelompok kulit hitam harus kehilangan identitasnya
sebagai suatu bangsa. Hak-hak mereka seolah-olah dibatasi oleh dominasi
kelompok kulit putih.
Bhabha menyoroti masalah
identifikasi kolmpok terjajah dengan kelompok penjajah. Akibat kolonisasi,
bangsa terjajah seolah mengalami proses mimikri, mereka meniru budaya-budaya
yang telah dibawa dan ditularkan bangsa penjajah, akibatnya budaya mereka
mengalami hibridasi, budaya asli akan hilang secara perlahan akibat percampuran
budaya mereka dengan budaya penjajah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar