Rabu, 17 Juni 2015

Makalah Teori Poskolonial Mengenai Perubahan Sosial





TEORI POSKOLONIAL MENGENAI PERUBAHAN SOSIAL







Oleh:
Kelompok 03

BAHARUDDIN
HAMZAH
HARMAN






JURUSAN PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI MAKSSAR
2015


TEORI POSKOLONIAL MENGENAI PERUBAHAN SOSIAL
A.     POSKOLONIAL: Dikatomi Barat Versus Timur
Studi poskolonial merupakan sebuah studi yang relatif masih baru dalam perkembangan ilmu sosial di dunia. Studi ini menawarkan sebuah perperktif “ baru “ dalam menganalisis dominasi negara barat atau kelompok negara-negara Timur. Negara barat di posisikan sebagai kelompok superior sedangkan negara timur di posisikan sebagai kelompok inferior yang tertindas.
Moore dan Gilbert (1997) menjelaskan bahwa teori poskolonial yang lahir pada paruh kedua abad ke-20 sering disebut sebagai motode dekonstruksi terhadap model berfikir dualis (biner), yang membedakan antara “ timur” dan “ barat “, meskipun mereka yang mengaku sebagai ahli dengan perpektif poskolonial tidak benar-benar mampu lepas dari jerat ini.
B.       Edward Said dan Orientalisme
Menurut Said, Orientalisme, yang menggambarkan hubungan dua bagian antara timur dan barat ini merupakan kunci dalam teori poskolonial. Said berpendapat bahwa Barat tidak akan ada tanpa Timur, dan sebaliknya. Dengan kata lain, dua kelompok tersebut bersifat komplementer (saling melengkapi).
Istilah orientalisme menurut Said dapat didefinisikan dengan tiga cara yang berbeda. Pertama, memandang orientalisme sebagai suatu metode atau paradigma berfikir yang berdasarkan epistemologi dan ontologi yang secara tegas membedakan antara Timur dan Barat; Kedua, orientalisme dapat juga dipahami sebagai gelar akademis untuk menggambarkan serangkaian lembaga, disiplin, dan kegiatan yang umumnya terdapat pada universitas Barat yang peduli pada kajian masyarakat dan kebudayaan Timur; Ketiga, melihat orientalisme sebagai lembaga resmi yang pada hakikatnya peduli pada Timur.
Orientaisme adalah konstruksi historis terhadap masyarakat dan budaya Timur sebagai “ sesuatu yang asing , sering kali bahkan dilihat sebagai sejenis alien atau objek yang indah dan eksotis.  
Said melihat penjajahan Barat atas Timur, baik Timur maupun Timur Dekat (Timur Tengah), bukan saja dilakukan melalui penjajahan fisik. Penjajahan sudah dilakukan melalui teks bahasa, budaya serta pembangunan citra negatif mengenai Timur oleh Barat.
C.      Spivak: Perempuan dan Subaltern
Spivak merupakan tokoh poskolonial yang mencoba memasukkan variabel janis kelamin sebagai subjek kajiannya untuk melihat adanya hubungan yang tidak setara dengan antara laki-laki dan perempuan yang kemudian dianalogikan dalam hubungan oposisi biner.
Feminisme memberikan perhatian terhadap bahasa yang berperan dalam membentuk identitas dan mengonstruksi subjektivitas. Secara khusus, bahasa menjadi alat untuk melawan budaya patriarki dan kekuasaan imprealis.
Teks teori feminis berkaitan erat dengan teori identitas dalam wacana dominan. Teori ini menawarkan berbagai strategi perlawanan terhadap kontrol yang menetukan pemaknaan identitas diri kaum perempuan. Sebenarnya perbedaan antara laki-laki dan perempuan adalah bukan masalah fisik atau biologis, namun labih berkaitan dengan konstruksi sosial yang merupakan hasil pertarungan ideologi antara kelas-kelas sosial dalam masyarakat.
Spivak memperjuangkan pembebasan melalui penggalian kesadaran historis yang semetinya menjadi kesadaran yang tidak dapat dilepaskan dari masalah-masalah lokal.
D.     Fanon: Identitas, Ras, dan Etnisitas
Teori panon yang cukup terkenal adalah mengenai teori identitas. Konsep identitas memiliki makna yang cukup luas. Castells menjelaskan beberapa hal penting untuk dapat memahami megenai konsep identitas. Menurut  Castells, identitas adalah sumber pemaknaan dan pengalaman orang. Identitas merupakan proses pembentukan makna yang berdasar pada sebuah atribut budaya tertentu, atau seperangkat atribut kultural, yang diprioritaskan diatas sumber-sumber pemaknaan yang lain. Identitas erat kaitannya dengan proses internalisasi nilai-nilai, norma-norma, tujuan-tujuan, ide-ide. Pada hakikatnya identitas dibedakan menjadi dua, yaitu identitas individu dan identitas kelompok (kolektif).
Fanon secara implisit juga menjelaskan bahwa pendefinisian ras dab etnisitas selalu merupakan hasil proses sejarah dan konstruksi politik yang dominan di samping permasalahan kebudayaan. Melalui sejarah kolonisasi, sang penjajah melakukan konstruksi secara subjektif terhadap identitas kaum kulit hitam yang dijajah dan dirinya sendiri.
E.      Bhaba: Mimikri dan Hibriditas
Konsep utama dalam teori poskolonial Bhaba adalah mimikri dan hibriditas. Mimikri memiliki dua pengertian. Pertama, dalam arti bahasa, mimikri merupakan sebuah keunikan yang dimiliki binatang tertentu, seperti bunglon dan sejenis serangga seperti kupu-kupu, yang memiliki kemampuan untuk menyerupai warna atau unsur tertentu ditempat binatang tersebut tinggal. Kedua, peniruan atau mimikri yang dipakai Bhaba cenderung pada mimikri dalam arti bahasa, yakni kemampuan seseorang untuk meyerupai orang lain yang lebih kuat atau mempunyai kemampuan lebih besar dari dirinya.
Terminologi negara dunia ketiga dan negara maju juga menjadi dua kunci dalam gagasan Bhaba. Bhaba menemukan adanya proses “mimikri” digunakan untuk menggambarkan proses peniruan atau peminjaman berbgai elemen kebudayaan. Fenomena mimikri tidaklah menunjukkan ketergantungan sang terjajah kepeda yang di jajah, tetapi peniru menikmati dan bermain dengan ambivalensi yang terjadi dalam proses imitasi tersebut. Dengan demikian, mimikri dapat dipandang sebagai strategi menghadapi dominasi penjajah.
Istilah hibriditas mengacu pada proses ketika penulis dan pemikir pribumi menyingkapnya hakikat wacana pascakolonial yang bersifat beraneka ragam dan kontigen, namun berlindung di balik klaim-klaim logika tunggal dan absolut. Hibriditas atau hibridasi adalah bentuk lain dari mimikri; yaitu sebuah teks hibrid yang berbeda dari teks “resmi” wacana kolonial yang merupakan produk tindakan meniru (mimikri).
Keragaman budaya adalah sebuah objek epitemologi budaya sebagai objek pengetahuan epmiris sedangkan, perbedaan budaya merupakan pengacuan budaya yang “berpengetahuan luas”, berwibawa, mampu membangun sistem identitas budaya. Keragaman budaya bahkan dapat muncul sebagai sistem artikulasi dan pertukaran tanda-tanda budaya tertentu. (Bhabha, 1995).
F.       Studi Poskolonial dan Perubahan Sosial
Said menjelaskan bahwa dampak kolonisasi telah menyebabkan negara terjajah seolah tidak berdaya menghadapi dominasi Barat dalam berbagai bentuk.
Spivak menguraikan mengenai penderitaan Timur dan kelompok-kelompok subaltern lainnya yang terjajah dan berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Kelompok minoritas, kaum perempuan yang dikuasai laki-laki, semuanya mengalami penderitaan.
Fanon, tertarik pada untuk mendalami masalah kolonisasi yang dialami kaum kulit hitam oleh kulit putih. Akibat penjajahan ini, kelompok kulit hitam harus kehilangan identitasnya sebagai suatu bangsa. Hak-hak mereka seolah-olah dibatasi oleh dominasi kelompok kulit putih.
Bhabha menyoroti masalah identifikasi kolmpok terjajah dengan kelompok penjajah. Akibat kolonisasi, bangsa terjajah seolah mengalami proses mimikri, mereka meniru budaya-budaya yang telah dibawa dan ditularkan bangsa penjajah, akibatnya budaya mereka mengalami hibridasi, budaya asli akan hilang secara perlahan akibat percampuran budaya mereka dengan budaya penjajah.
                       


Tidak ada komentar:

Posting Komentar