MAKALAH
PENDIDIKAN KELUARGA
Oleh :
BAHARUDDIN
1342042001
JURUSAN PENDIDIKAN LUAR
SEKOLAH
FAKULTAS ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI
MAKASSAR
2014
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh...
Syukur Alhamdulillah merupakan kata yang paling
pantas untuk kami ucapkan dan puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. atas
berkat Rahmat yang telah Dia berikan kepada kami semua sehingga kami dapat
sampai pada saat penyusunan makalah ini. Tak lupa pula sholawat dan salam kami
kirimkan kepada Nabi Muhammad SAW., Nabi yang telah membawa kita dari alam yang
gelap gulita menuju alam yang terang benderang.
Besar harapan
kami agar apa yang telah kami laksankan selama ini dapat bermanfaat dan
mendapat ridho Allah SWT., serta bernilai ibadah disisi Allah SWT. Amin..
Seperti sebuah
pepatah yang mengatakan bahwa “Tak Ada Gading yang Tak retak”, sama
halnya seperti kami yang tak luput dari kesalahan. Maka dari itu, dengan segala
kerendahan hati kami memohon maaf yang sebesar-besarnya jika terdapat sesuatu
hal yang tidak berkenan dihati, kritik dan saran sangat bermanfaat. Akhir kata,
semoga kita senantiasi diberikan limpahan Rahmat dan Hidayah dari Allah SWT.
Amin..
Wassalamu’ Alaikum Warahmatullahi wabarakatuh..
Penyusun
A. Pengertian Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga
dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu
atap dalam keadaan saling ketergantungan.
Menurut Salvicion dan Celis (1998) di dalam keluarga terdapat dua atau lebih
dari dua pribadi yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan, di hidupnya dalam satu rumah
tangga, berinteraksi satu sama lain dan di dalam perannya masing-masing dan
menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan.
A.1 Jenis Keluarga
Ada beberapa jenis keluarga, yakni: keluarga inti yang terdiri dari
suami, istri, dan anak atau anak-anak, keluarga
konjugal yang terdiri dari pasangan dewasa (ibu dan ayah)
dan anak-anak mereka, di mana terdapat interaksi dengan kerabat dari salah satu
atau dua pihak orang tua. Selain itu terdapat juga keluarga luas yang ditarik
atas dasar garis keturunan di atas keluarga aslinya. Keluarga luas ini meliputi
hubungan antara paman, bibi, keluarga kakek, dan keluarga nenek.
A.2 Peranan Keluarga
Peranan keluarga menggambarkan seperangkat
perilaku antar pribadi, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan pribadi dalam
posisi dan situasi tertentu. Peranan pribadi dalam keluarga didasari oleh
harapan dan pola perilaku dari keluarga,kelompok dan masyarakat. Berbagai peranan yang
terdapat dalam keluarga adalah sebagai berikut:
Ayah sebagai suami dari isteri dan ayah dari anak-anaknya, berperan
sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman,
sebagai kepala keluarga, sebagai
anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota dari kelompok sosialnya
serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya. Sebagai istri dan
ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga,
sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu
kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya,
disamping itu juga ibu dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam
keluarganya. Anak-anak melaksanakan peranan psikosial sesuai dengan
tingkat perkembangannya baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.
A.3 Tugas Keluarga
Pada dasarnya tugas keluarga ada
delapan tugas pokok sebagai berikut:
1. Pemeliharaan fisik
keluarga dan para anggotanya.
2. Pemeliharaan
sumber-sumber daya yang ada dalam keluarga.
3. Pembagian tugas masing-masing anggotanya sesuai dengan kedudukannya masing-masing.
5. Pengaturan jumlah
anggota keluarga.
6. Pemeliharaan ketertiban
anggota keluarga.
7. Penempatan
anggota-anggota keluarga dalam masyarakat yang lebih luas.
8. Membangkitkan dorongan
dan semangat para anggotanya.
A.4 Fungsi
Keluarga
Fungsi yang dijalankan keluarga adalah:
1.
Fungsi Pendidikan dilihat dari bagaimana keluarga mendidik dan menyekolahkan anak untuk
mempersiapkan kedewasaan dan masa depan anak.
2.
Fungsi Sosialisasi anak dilihat dari
bagaimana keluarga mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik.
3.
Fungsi Perlindungan dilihat dari bagaimana
keluarga melindungi anak sehingga anggota keluarga merasa terlindung dan merasa
aman.
4.
Fungsi Perasaan dilihat dari bagaimana
keluarga secara instuitif merasakan perasaan dan suasana anak dan anggota yang
lain dalam berkomunikasi dan berinteraksi antar sesama anggota keluarga.
Sehingga saling pengertian satu sama lain dalam menumbuhkan keharmonisan dalam
keluarga.
5.
Fungsi Agama dilihat dari
bagaimana keluarga memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota keluarga lain
melalui kepala keluarga menanamkan keyakinan yang mengatur kehidupan kini dan
kehidupan lain setelah dunia.
6.
Fungsi Ekonomi dilihat dari bagaimana kepala keluarga mencari penghasilan, mengatur
penghasilan sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi rkebutuhan-kebutuhan
keluarga.
7.
Fungsi Rekreatif dilihat dari bagaimana
menciptakan suasana yang menyenangkan dalam keluarga, seperti acara nonton TV
bersama, bercerita tentang pengalaman masing-masing, dan lainnya.
8.
Fungsi Biologis dilihat dari bagaimana keluarga meneruskan keturunan sebagai generasi
selanjutnya.
9. Memberikan kasih sayang, perhatian, dan rasa aman di
antara keluarga, serta membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga.
A.5 Bentuk keluarga
Ada dua macam bentuk keluarga dilihat dari bagaimana keputusan
diambil, yaitu berdasarkan lokasi dan berdasarkan pola otoritas.
A.5.1 Berdasarkan
lokasi
1.
Adat utrolokal, yaitu adat yang
memberi kebebasan kepada sepasang suami istri untuk memilih tempat tinggal,
baik itu di sekitar kediaman kaum kerabat suami ataupun di sekitar kediamanan
kaum kerabat istri.
2.
Adat virilokal, yaitu adat yang
menentukan bahwa sepasang suami istri diharuskan menetap di sekitar pusat
kediaman kaum kerabat suami.
3.
Adat uxurilokal, yaitu adat yang
menentukan bahwa sepasang suami istri harus tinggal di sekitar kediaman kaum
kerabat istri.
4.
Adat bilokal, yaitu adat yang
menentukan bahwa sepasang suami istri dapat tinggal di sekitar pusat kediaman
kerabat suami pada masa tertentu, dan di sekitar pusat kediaman kaum kerabat
istri pada masa tertentu pula (bergantian).
5.
Adat neolokal, yaitu adat yang
menentukan bahwa sepasang suami istri dapat menempati tempat yang baru, dalam
arti kata tidak berkelompok bersama kaum kerabat suami maupun istri.
6.
Adat avunkulokal, yaitu adat yang
mengharuskan sepasang suami istri untuk menetap di sekitar tempat kediaman
saudara laki-laki ibu (avunculus) dari pihak suami.
7.
Adat natalokal, yaitu adat yang menentukan
bahwa suami dan istri masing-masing hidup terpisah, dan masing-masing dari
mereka juga tinggal di sekitar pusat kaum kerabatnya sendiri.
A.5.2 Berdasarkan pola
otoritas
·
Patriarkal, yakni otoritas di
dalam keluarga dimiliki oleh laki-laki (laki-laki tertua, umumnya ayah)
·
Matriarkal, yakni otoritas di
dalam keluarga dimiliki oleh perempuan (perempuan tertua, umumnya ibu)
·
Equalitarian, yakni suami dan istri
berbagi otoritas secara seimbang.
A.6 Subsistem sosial
Terdapat tiga jenis subsistem dalam keluarga, yakni subsistem
suami-istri, subsistem orang tua-anak, dan subsitem sibling
(kakak-adik). Subsistem suami-istri terdiri dari seorang laki-laki dan
perempuan yang hidup bersama dengan tujuan eksplisit dalam membangun
keluarga. Pasangan ini menyediakan dukungan mutual satu dengan yang lain
dan membangun sebuah ikatan yang melindungi subsistem tersebut dari gangguan
yang ditimbulkan oleh kepentingan maupun kebutuhan darti subsistem-subsistem
lain. Subsistem orang tua-anak terbentuk sejak kelahiran seorang anak
dalam keluarga, subsistem ini meliputi transfer nilai dan pengetahuan dan
pengenalan akan tanggungjawab terkait dengan relasi orang tua dan anak.
B. Pengertian
Pendidikan
Pendidikan dalam arti mikro ( sempit ) merupakan proses interaksi
antara pendidik dan peserta didik baik di keluarga, sekolah maupun di
masyarakat. Sedangkan pendidikan dalam arti makro ( luas ) adalah proses
interaksi antara manusia sebagai individu / pribadi dan lingkungan alam semesta,
lingkungan sosial, masyarakat, sosial-ekonomi, sosial-politik dan
sosial-budaya.
Pendidikan juga dapat
diartikan sebagai :
1.
Suatu proses pertumbuhan yang menyesuaikan dengan lingkungan
2.
Suatu pengarahan dan bimbingan yang diberikan kepada anak dalam
pertumbuhannya.
3.
Suatu usaha sadar untuk menciptakan suatu keadaan atau situasi tertentu
yang dikehendaki oleh masyarakat.
4.
Suatu pembentukan kepribadian dan kemampuan anak menuju dewasa.
B.1 Ruang Lingkup
Pendidikan
B.1.1. Pendidikan
Informal
Pendidikan informal adalah pendidikan yang di peroleh seseorang dirumah dalam
lingkungan keluarga, berlangsung tanpa organisasi, tanpa orang tertentu yang di
angkat sebagai pendidik tanpa program yang harus diselesaikan dalam jangka
waktu tertentu dan tanpa evaluasi formal berbentuk ujian. Namun pendidikan
Informal menentukan kepribadian anak, apakah anak akan menjadi anak yang
bertanggung jawab,berbudi luhur, patuh akan peraturan, berpegang teguh pada
janjinya atau sebaliknya.
B.1.2 Pendidikan Formal
Pendidikan
Formal adalah pendididkan yang mempunyai bentuk atau organisasi tertentu,
seperti di Sekolah atau Universitas. Ini terlihat adanya penjenjangan, adanya
program pembelajaran, jangka waktu proses belajar dan bagaimana proses
penerimaan murid dan lain-lain.
B.1.3 Pendidikan Non Formal
Pendidikan Non Formal meliputi berbagai usaha khusus yang di selenggarakan
secara terorganisasi agar terutama generasi muda dan juga orang dewasa,yang
tidak dapat sepenuhnya atau sama sekali tidak berkrsempatan mengikuti
pendidikan sekolah. Pendidikan Non Formal meliputi kegiatan pengetahuan praktis
dan ketrampilan dasar yang di perlukan masyarakat.
B.2 Fungsi Pendidikan
Dalam arti
sempit fungsi pendidikan ialah membantu (secara sadar) perkembangan jasmani dan
rohani. Secara makro (luas) fungsi pendidikan adalah :
1.
Pengembangan pribadi
2.
Pengembangan warga negara
3.
Pengembangan kebudayaan
4.
Pengembangan bangsa
B.3 Faktor-Faktor
Pendidikan
B.3.1 Faktor Tujuan
Menurut Noeng Muhajir (1987 : 2-3) menyatakan bahwa tujuan pendidikan terdiri
dari 3 buah yakni; (a) Tujuan yang bersifat sebagai alat seperti pandai bicara,
membaca, berhitung dan sebagainya yang merupakan alat bagi tujuan yang lain
yang lebih tinggi; (b) Tujuan yang bersifat instrinsik merupakan potensi yang
berada di dalam diri peserta didik; (c) Tujuan nilai hidup meliputi budi
pekerti, cinta tanah air dan sebagainya. Menurut Largeveld Tujuan dibedakan
menjadi :
1. Tujuan umum yaitu tujuan didalam pendidikan yang berakar dari tujuan hidup,
berhubungan dengan pandangan hidup manusia didunia.
2. Tujuan tidak sempurna yaitu tujuan yang menyangkut segi-segi tertentu demi
kepribadian manusia yaitu mengenai nilai-nilai hidup seperti kesusilaan,
keagamaan, kemasyarakatan dan sebagainya.
3. Tujuan sementara yaitu tujuan yang merupakan pemberhentian sementara untuk
mencapai tujuan yang lebih tinggi.
4. Tujuan perantara yaitu tujuan yang ditentukan dalam rangka mencapai tujuan
sementara.
5. Tujuan Insidental yaitu tujuan yang hanya merupakan peristiwa-peristiwa
yang terlepas saat demi saat dalam proses menuju pada tujuan umum.
B.3.2 Faktor Pendidik
Pendidik dibedakan atas dua kategori yaitu :
a)
Pendidik menurut kodrat, yaitu orang tua, Orang tua menjadi pendidik bukan
karena kemauan, melainkan karena memenuhi panggilan yang etis kodrati.
b)
Pendidik menurut jabatannya, yaitu guru, Guru sebagai pendidik menurut
jabatan meneima tanggung jawab mendidik dari tiga pihak yaitu orang tua,
masyarakat dan negara.
B.3.3 Faktor Peserta
Didik
Peserta
didik dipandang sebagai organisme yang menerima informasi dan pengetahuandari berbagai
sumber. Peserta didik dalam usia dan tingkat kelas yang sama bisa memiliki
profil materi pengetahuan yang berbeda-beda. Ini tergantung pada konteks yang
mendorong perkembangan seseorang. Ada 4 konteks yang mendorong perkembangan,
yaitu :
a.
Lingkungan tempat peserta didik belajar secara aksidental dan insidental.
b.
Lingkungan belajar secara insidental
c.
Sekolah sebagai tempat yang terprogram
d.
Lingkungan pendidikan yang optimal
B.3.4 Faktor Isi /
Materi Pendidikan
Yang
termasuk dalam isi / materi pendidikan ialah segala sesuatu yang oleh pendidik
langsung diberikan kepada peserta didik dan diharapkan untuk dikuasai peserta
didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Syarat utama dalam pemilihan
bahan atau materi pendidikan adalah :
1.
Materi harus sesuai dengan tujuan pendidiakn
2.
Materi harus sesuai dengan peserta didik
B.3.5 Faktor Metode
Agar
proses pendidikan berlangsung secara edukatif dan efisien dalam upaya untuk
mencapai tujuan pendidikan selain materi / bahan pendidikan yang tepat, juga
perlu dipilih metode yang tepat. Metode adalah cara yang dalam fungsinya
merupakan alat untuk mencapai tujuan. Untuk menentukan metode yang tepat harus
adanya kriterium / patokan yang jelas. Patokan tersebut adalah faktor tujuan,
peserta didik dan faktor situasi.
B.3.6 Faktor Situasi
Lingkungan
Situasi
lingkungan mempengaruhi proses dan hasil pendidikan. Situasi lingkungan dapat
menunjang dan menghambat proses belajar. Yang jelas bahwa antara situasi
lingkungan dengan faktor tujuan, peserta didik, pendidik, bahan dan metode
harus ada hubungan yang saling mempengaruhi dalam proses pendidikan.
C. Fungsi Keluarga
Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari Ayah, ibu
dan anak serta bebarapa orang lain yang masih terikat dalam hubungan darah dan
saling ketergantungan atau membutuhkan satu sama lain. Setiap anggota keluarga
mempunyai peranannya masing-masing. Ayah sebagai kepala keluarga berperan
melindungi istri dan anak-anaknya. Seorang ayah juga berperan sebagai pengambil
keputusan. Ibu sebagai istri berperan melindungi dan mendidik anak-anaknya
dengan penuh kasih saying. Dan anak hanya bertugas untuk berbakti kepada
orangtua dan menjalankan segala petunjuk-petunjuk atau perintah yang telah
diberikan orangtua agar bisa menjadi anak yang membanggakan.
Ada beberapa fungsi yang dapat dijalankan setiap keluarga agar bisa terbentuk
keluarga yang harmonis. Fungsi tersebut, diantaranya:
1.
Fungsi Pendidikan. Orangtua sebagai anggota keluarga berfungsi untuk
mendidik anak-anak, dengan menyekolahkan mereka sampai ke jenjang yang tinggi.
Selain pendidikan formal, keluarga juga bisa memberikan didikan informal diluar
sekolah. Hal ini dilakukan Agar kelak mereka bisa menjadi anak-anak yang
berguna bagi keluarganya sendiri maupun bangsa dan Negara.
2.
Fungsi Religius. keluarga juga berfungsi memperkenalkan agama atau
keyakinan kepada ana-anak sejak mereka masih kecil. Orangtua wajib menanamkan
nilai-nilai agama kepada anak-anak mereka untuk bekal kehidupan setelah di
dunia ini. Karena harus kita ingat bahwa tidak selamanya manusia hidup di
dunia.
3.
Fungsi Ekonomi. Fungsi ekonomi ini harus dijalankan oleh kepala
keluarga. Ayah sebagai kepala keluarga wajib untuk bekerja mencari nafkah untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan rumah tangga. Namun, di zaman emansipasi wanita
sekarang ini tidak jarang kita lihat ada ibu-ibu yang turut membantu memenuhi
kebutuhan keluarga dengan bekerja sebagai wanita karier.
4.
Fungsi Sosialiasasi. Keluarga mempersiapakan anak untuk menjadi masyarakat
yang baik. sebagai makhluk social, kita pasti saling membutuhkan satu individu
dengan individu yang lain, oleh karena itu, keluarga mempersiapakan anak agar
bisa bersosialisasi dengan lingkungan sekitar dengan cara menanamkan
nilai-nilai moral yang baik dan memberikan contoh etika-etika yang baik dalam
kehidupan bermasyarakat.
5.
Fungsi Perlindungan. Dalam hal ini setiap anggota keluarga wajib memberikan
perlindungan kepada anggota keluarga yang lain. Agar mereka merasa aman,
nyaman, dan terlindungi. Karena jika dalam keluarga sendiri saja mersa tidak
aman, kemana lagi anggota keluarga mencari perlindungan.
6.
Fungsi Biologis. fungsi ini dijalankan untuk meneruskan keturunan. Agar
tebentuk generasi penerus yang bisa mempertahankan nilai-nilai budaya yang ada
dalam keluarga.
Selain fungsi-fungsi yang saya sebutkan diatas, ada juga fungsi yang tak kalah
pentingnya yaitu fungsi memberikan kasih sayang, perhatian, hiburan. Jika peran
dan fungsi-fungsi ini dijalankan oleh setiap keluarga insya Allah akan
terbentuk keluarga yang harmonis dan sejahterah. Dengan terbentuknya keluarga
yang harmonis maka akan timbul kebahagiaan, sedangkan keluarga yang tidak
harmonis akan menimbulkan banyak masalah-masalah. Oleh karena itu, marilah kita
ciptakan keharmonisan di dalam lingkugan keluarga agar kehidupan ini dipenuhi
kebahagiaan.
D. Pembentukan karakter anak-anaknya
D.1. Pendahuluan
Anak merupakan aset yang menentukan kelangsungan hidup, kualitas dan kejayaan suatu bangsa di masa mendatang. Oleh karena itu anak perlu dikondisikan agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal dan dididik sebaik mungkin agar di masa depan dapat menjadi generasi penerus yang berkarakter serta berkepribadian baik.
Keluarga adalah lingkungan yang pertama dan utama dikenal oleh anak. Karenanya keluarga sering dikatakan sebagai primary group. Alasannya, institusi terkecil dalam masyarakat ini telah mempengaruhi perkembangan individu anggota-anggotanya, termasuk sang anak. Kelompok inilah yang melahirkan individu dengan berbagai bentuk kepribadiannya di masyarakat. Oleh karena itu tidaklah dapat dipungkiri bahwa sebenarnya keluarga mempunyai fungsi yang tidak hanya terbatas sebagai penerus keturunan saja. Mengingat banyak hal-hal mengenai kepribadian seseorang yang dapat dirunut dari keluarga (Mardiya,2000:10).
Akibat pengaruh globalisasi yang makin menguat di setiap aspek kehidupan, banyak bangsa-bangsa di dunia yang tidak berkarakter kehilangan jati dirinya. Tanpa di sadari budaya telah mengalami pergeseran (akulturasi). Semula batas budaya barat dan timur terlihat jelas, namun sekarang ini yang terjadi budaya luar secara permisif berbaur dengan budaya lokal. Kondisi yang demikian menjadi berbahaya ttakala budaya buruk dari luar ditelan mentah-mentah oleh anak-anak dalam sebuah keluarga. Seperti budaya kekerasan, minum minuman keras, penyalahgunaan narkoba atau seks bebas. Disinilah peran orang tua ditantang untuk mampu mengembalikan karakter anak dalam kapasitas agar anak dapat tumbuh dan berkembang sebaik-baiknya.
D.2 Tumbuh Kembang Anak
Sejak dilahirkan ke dunia setelah bersemayam dalam kandungan selama 9 bulan 10 hari, anak memliki ciri khusus yang membedakan dari orang dewasa, yakni terus tumbuh dan berkembang (Sunartini, 2001: 1). Tumbuh kembang anak sebenarnya sudah dimulai sejak pembuahan (konsepsi) sampai anak dewasa (kira-kira umur 21 tahun). Jadi tumbuh kembang ini merupakan suatu proses yang panjang dari satu sel menjadi berjuta sel manusia.
Pertumbuhan dan perkembangan anak secara prinsip dapat dibagi dalam 4 periode, yaitu masa balita, pra sekolah, masa pertengahan kanak-kanak dan masa renaja. (Herini Sarminto, 2004: 1). Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita, karena pada masa ini terjadi pertumnuhan dan perkembangan dasar yang akan memperngaruhi perkembangan selanjutnya. Pertumbuhan anak ditunjukkan dengan bertambahnya tinggi dan berat badan, lingkar kepala, lingkar lengan atas, lingkar dada, dan sebagainya. Pertumbuhan anak ditunjukkan dengan faktor gizi dan nutrisi. Sementara perkembangan anak ditunjukkan dengan perkembangan psikomotor, perkembangan mental dan intelektual, perkembangan sosial, kemampuan komunikasi, perilaku dan perkembangan seksual. Perkembangan anak ini akan dipengaruhi oleh faktor bawaan dan lingkungan (Hibana S. Rahman, 2002 :37)
Menurut Herini Sarminto (2004 : 2) faktor bawaan (genetik) merupakan faktor yang dibawa anak sejak lahir. Faktor bawaan ini merupakan modal dasar dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang anak. Potensi bawaan yang bermutu bila dapat berinteraksi dengan lingkungan secara positif akan diperoleh hasil akhir yang optimal. Sementara faktor lingkungan merupakan faktor diluar individu. Lingkungan ini merupakan lingkungan bio-fisika-psiko-sosial yang mempengaruhi individu setiap hari, mulai dari konsepsi sampai akhir hayatnya. Secara garis besar faktor lingkungan ini dibagi menjadi dua yaitu : (1) Lingkungan anak sebelum anak lahir, misalnya gizi ibu, obat-obatan, penyakit ibu, stress, posisi janin, gangguan hormon, radiasi, infeksi dan sebagainya; (2) Posisi setelah anak lahir, misalnya gizi anak, penyakit-penyakit, gangguan hormon, perumahan, kebersihan, stimulasi, stress, kasih sayang, stabilitas rumah tangga dan adat istiadat.
Terkait dengan tumbuh kembang anak para ahli psikologi perkembangan sepakat bahwa usia balita adalah “The Golden Age” atau masa emas dalam tahap perkembangan hidup manusia. Dikatakan sebagai masa emas karena pada masa ini tidak kurang 100 milyar sel otak siap untuk distimulasi agar kecerdasan seseorang dapat berkembang secara optimal dikemudian hari. Dalam banyak penelitian menunjukkan kecerdsan anak usia 0-4 tahun terbangun 50% dari total kecerdasan yang akan dicapai pada usia 18 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa usia 4 tahun pertama adalah masa-masa paling menentukan dalam membangun kecerdasan anak dibanding masa-masa sesudahnya. Artinya bila pada usia tersebut tidak mendapat rangsangan yang maksimal maka potensi tumbuh kembang anak tidak akan teraktualisasikan secara optimal. Disamping itu bukan tidak mungkin bila pada masa ini anak tidak dapat mengalami gangguan perkembangan emosi, sosial, mental, intelektual dan moral sangat menentukan karakter cara bersikap dan pola perilakunya (Anik Rahmani Yudhastawa, 2005 : 10).
D.3. Hak Anak
Membicarakan kelangsungan hidup dimuka bumi ini adalah membicarakan manusia, karena manusia merupakan makhluk paling dominan dalam kehidupan dan lebih khusus untuk kelangsungan hidup masa dengan tergantung pada anak sebagai generasi penerus. Anak merupakan bagian dari generasi muda, penerus cita-cita dan perjuangan bangsa. Disamping itu anak merupakan sumber daya manusia yang perlu mendapatkan perhatian dan perlindungan dari berbagai ancaman dan gangguan agar supaya hak-haknya tidak terabaikan.(Sri Sugiharti, 2005:1)
Tentang apa saja hak anak, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan resolusi No. 44/25 tentang konvensi hak-hak anak (Convention on the Rights of the Child) tertanggal 20 November 1989. Konvensi ini telah diratifikasi Indonesia pada tanggal 25 Agustus 1990 dengan keputusan presiden nomor 36 tahun 1990. sekarang ini Indonesia sudah mempunyai UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yang didalamnya memuat 4 hak dasar anak yaitu:
1. Hak untuk memperoleh keberlangsungan hidup
2. Hak untuk tumbuh dan berkembang
3. Hak untuk berpartisipasi
4. Hak untuk memperoleh perlindungan
Menurut Noor Siswanto (2002:5) secara lebih terinci ada sebelas hak yang dimiliki oleh anak antara lain : (1) hak untuk didaftar sejak kelahirannya, hak atas nama, memperoleh kewarganegaraan dan sejauh mungkin mengetahui dan dipelihara oleh orang tuanya ; (2) hak mempertahankan identitas ; (3) hak tidak dipisahkan dengan orang tua ; (4) hak berhubungan dengan orang tua ; (5) hak menyatakan pendapat, kemerdekaan berpikir, beragama ; (6) hak kemerdekaan berserikat dan berkumpul ; (7) hak memperoleh bantuan khusus dari negara bagi anak yang kehilangan lingkungan keluarga ; (8) hak menikmati norma kesehatan tertinggi dan hak memperoleh pendidikan ;(9) hak memperoleh pemeliharaan, perawatan serta perlindungan ; (10) hak untuk beristirahat, bersantai, bermain dan hak untuk turut serta dalam kegiatan rekreasi dan ; (11) hak untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi, eksploitasi seksual dan kegiatan yang bersifat pornografis serta pemakaian narkoba.
Hak-hak anak tersebut perlu diwujudkan agar tumbuh kembang anak dapat berlangsung optimal. Dengan adannya hak-hak tersebut sudah barang tentu menjadi kewajiban keluarga, masyarakat dan bangsa (termasuk didalamnya institusi pendidikan) untuk memenuhinya. Keberhasilan bangsa ini dalam mencetak generasi yang berkwalitas menurut Sri Mirmaning Tyas (2005:10) sesungguhnya tidak dapat hanya disandarkan pada institusi pendidikan semata. Peran masyarakat luas, keluarga besar, pemerintah, swasta, dunia bisnis hingga orang tua sendiri perlu dimaksimalkan. Mendasarkan pada hak dasar anak maka hak yang paling sering diabaikan adalah hak partisipasi anak dalam menentukan arah perkembangan dirinya. Orang dewasa, guru, orang tua, pendidik seringh kali merasa lebih berhak menentukan apa yang terbaik bagi anak tanpa mempertimbangkan basis karakter anak. Sehingga yang terjadi kemudian amat banyak orang tua yang “Gagal” didik sejak kecil itu, melahirkan anak-anak yang “Gagal” seperti dirinya.
D.4. Membangun Karakter
Anak
Membangun karakter berarti mendidik. Untuk berpikir tentang pendidikan dapat kita mudahkan dengan membuat analogi sebagaimana seorang petani yang hendak bertanam di ladang. Anak yang akan dididik dapat diibaratkan sebagai tanah, isi pendidiklah sebagai bibit atau benih yang hendak ditaburkan, sedangkan pendidik diibaratkan sebagai petani. Untuk mendapatkan tanaman yang bagus, seorang petani harus jeli menentukan jenis dan kondisi lahan, kemudian menentukan jenis bibit yang tepat, serta cara yang tepat, setelah mempertimbangkan saat yang tepat pula untuk menaburkan bibit. Setelah selesai menabur, petani tidak boleh diam, tetapi harus memelihara, danmerawatnya jangan sampai kena hama pengganggu (SuharsimiArikunto2004:1).
Membangun karakter anak, yang tidak lain adalah mendidik kejiwaan anak, tidak semudah dan sesederhana menanam bibit. Anak adalah aset keluarga, yang sekaligus aset bangsa. Membesarkan fisik anak, masih dapat dikatakan jauh lebih mudah dengan mendidik jiwa karena pertumbuhanya dapat dengan langsung diamati, sedangkan perkembangan jiwa hanya diamati melalui pantulannya.
Menurut Oppenheim (dalam Suharsimi Arikunto, 2004 : 2) karakter atau watak
seseorang dapat diamati dalam dua hal, yaitu sikap (attitude) dan perilaku
(behavior). Jadi sikap sesorang termasuk anak-anak, tidak dapat diketahui
apabila tidak ada rangsangan dari luar. Rangsangan itu sendiri dipengaruhi oleh
beberapa faktor anatara lain cara menyampaikan, waktu terjadinya, pemberian
rangsangan dan cara memberikan rangsangan. Dengan demikian maka pemebntukan
sikap yang selanjutnya merupakan pembetuk karekter atau watak anak, juga sangat
tergantung dari rangsangan pendidikan yang diberikan oleh pendidik.
Banyaknya anak yang terlibat dalam tindak kenakalan nak baik berupa tindak kekerasan, penipuan, pemerkosaan/pelecehan seksual, pencurian, perampokan hingga pembunuhan serta tindakan/ perilaku yang negatif lainnya seperti mabuk-mabukan, merokok atau menyalahgunakan narkoba, merupakan salah satu bentuk gagalnya pendidikan terhadap anak.
Banyaknya anak yang terlibat dalam tindak kenakalan nak baik berupa tindak kekerasan, penipuan, pemerkosaan/pelecehan seksual, pencurian, perampokan hingga pembunuhan serta tindakan/ perilaku yang negatif lainnya seperti mabuk-mabukan, merokok atau menyalahgunakan narkoba, merupakan salah satu bentuk gagalnya pendidikan terhadap anak.
Era globalisasi memang telah mengubah segalanya. Beratnya persaingan hidup telah menyebabkan orang lupa memperhatikan kebutuhn anak karena sibuk mencari nafkah. Sementara perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah menyebabkan budaya luar baik atau buruk mengalir bagitu derasnya. Dampaknya bila tidak ada pengawasan dan bimbingan yang cukup buruk dari luar. Oleh karenanya, sejak dini pada anak perlu ditanamkan nailai-nilai moral sebagai pengatur sikap dan perilaku individu dalam melakukan interaksi sosial di lingkungan keluarga, masyarakat maupun bangsa (Gunarwan, 2005 : 10).
Terdapat tiga teori perkembangan yang diyakini menentukan hasil jadi seorang anak. Pertama, teori tabula rasa, yakni teori yang menyatakan bahwa hasil jadi seorang anak sangat ditentukan seperti apa dia dididik. Teori ini mengibaratkan anak sebagai kertas putih yang kosong, tergantung siapa yang menulis dan melukisnya. Menulis dengan rapi atau dengan mencoret-coret bahkan diremas hingga kumal. Semua tergantung yang memegang kandali atas kertas putih tersebut. Kedua, teori genotype, yang menyatakan bahwa hasil akhir seorang anak sangat ditentukan oleh gen (sifat, karakter, biologis) orang tuanya. Pepatah sering mendukung teori ini dengan perumpamanaan : air hujan mengalir tak jauh dari atapnya. Sifat kareakter, hingga yang lebih ekstrim lagi nasib anak-anak dianggap tidak akan jauh dari situasi orang tuanya. Penganut paham ini sangat kenatar jika sampai pada keputusan menentukan jodoh anak-anaknya. Orang tuanya cocok, maka hubungan anaknya boleh berlanjut, namun jika tidak cocok maka biasanya orang tua tidak akan memberi restu hubungan anaknya. Ketiga, teori gabungan yang menggabungkan 2 karakter di atas di tambah denagn faktor mileu (lingkungan ).
Teori ini banyak dipakai oleh para psikolog maupun pengembang pendidikan. Teori
ini meyakini bahwa hasil akhir seorang anak ditentukan oleh tiga hal: faktor
orang tua, faktor pendidkan dan faktor lingkungan. Banyak faktor lingkungan
yakni dengan siapa dia bergaul, bergaul, pengaruh orang-orang dekat, paling
diyakini sangat efektif mempengaruhi perkembangan anak Membangun karakter anak
dengan demikian dibutuhkan upaya serius dari berbagai pihak terutama keluarga
untuk mengkondidikan ketiga faktor di atas agar kondusif untuk tumbuh kembang
anak. Pendidikan karakter pada anak harus siarahkan agar anak memiliki jiwa
mandiri, bertanggung jawab dan mengenal sejak dini untuk dapat membedakan hal
yang baik dan buruk, benar-salah, hak-batil, angkara murka-bijaksana, perilaku
hewani dan manusiawi (Witono, 2005:1)
D.5 Peran Orang Tua
Anak adalah individu yang unik. Banyak yang menagatkan bahwa anak adalah miniatur dari orang dewasa. Padahal mereka betulbetul unik. Mereka belum banyak memiliki sejarah masa lal. Pengalaman mereka sangat terbatas. Di sinilah peran orang tua yang memiliki pengalaman hidup lebih banyak sangat dibutuhkan membimbing dan mendidik anaknya. Apabila dikaitkan dengan hak-hak anak, menurut Sri Sugiharti (2005 :1) tugas dan tanggung jawab orang tua antara lain :
1.
Sejak dilahirkan mengasuh dengan kasih sayang.
2.
Memelihara kesehatan anak.
3.
Memberi alat-alat permainan dan kesempatan bermain.
4.
Menyekolahkan anak sesuia dengan keinginan anak.
5.
Memberikan pendidikan dalam keluarga, sopan santun, sosial, mental dan juga
pendidikan keagamaan serta melindungi tindak kekerasan dari luar.
6.
Memberikan kesempatan anak untuk mengembangkan dan berpendapat sesuai
dengan usia anak.
Atas dasar itu orang tua yang bijaksana ankan mengajak anak sejak dini untuk
berinteraksi denagn lingkungan sekitar. Saat itulah pendidikan karakter
diberikan. Mengenal anak akan perbedaan di selilingnya dan diliatkan dalam
tanggung jawab hidup sehari-hari, merupakan sarana anak untuk belajar
menghargai perbedaan di sekelilingnya dan mengembangkan karakter di tengah
berkembangnya masyarakat.
Pada tahap ini orang tua dapat mengajarkan niali-nilai universal seperti cara
menghargai orang lain, berbuat adil pada diri sendiri dan orang lain, bersedia
memanfaatkan orang lain.
Bapak ibu sebagai orang tua anak, adalah contph keteladanan dan perilaku bagi anak. Oleh karena itu orang tua harus berperilaku baik, saling asih, asah dan asuh. Ibu yang secara emosional dan kejiwaan lebih dekat dengan anaknya harus mampu menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya baik dalam bertutur kata, bersikap maupun bertindak. Peran ibu dalam pembentukan karakter ini demikian besar, sehingga ada pepatah yang mengatakan bahwa “Wanita adalah tiang negara. Manakala wanitanya baik maka baiklah negara. Manakala wanitanya rusak, maka rusaklah’’negara”.
Bapak ibu sebagai orang tua anak, adalah contph keteladanan dan perilaku bagi anak. Oleh karena itu orang tua harus berperilaku baik, saling asih, asah dan asuh. Ibu yang secara emosional dan kejiwaan lebih dekat dengan anaknya harus mampu menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya baik dalam bertutur kata, bersikap maupun bertindak. Peran ibu dalam pembentukan karakter ini demikian besar, sehingga ada pepatah yang mengatakan bahwa “Wanita adalah tiang negara. Manakala wanitanya baik maka baiklah negara. Manakala wanitanya rusak, maka rusaklah’’negara”.
Sementara itu sang bapak sebagai kepala keluarga juga harus mampu menajdi teladan yang baik. Karena ayah yang terlibat hubungan dengan anaknya sejak awal akan mempengaruhi perkembangan kognitif, motorik, kemampuan, menolong diri sendiri, bahkan meningkatkan kemampuan yang lebih baik dari anak lain. Kedekatan dengan ayah tentunya juga akan mempengaruhi pembentukan karakter anak. Begitu besarnya peran orang tua dalam pembentukan karakter dan tumbuh kembang anak, sudah sewajarnya apabila orang tua perlu menerapkan pola asuh yang seimbang (authoritative) pada anak, bukan pola asuh yang otoriter atau serba membolehkan(permissive).
Pola asuh yang seimbang (authoritative) akan selalu menghargai individualitas akan tetapi juga menekankan perlunya aturan dan pengaturan. Mereka dangat percaya diri dalam melakukan pengasuhan tetapi meraka sepenuhnya mengahrgai keputusan yang diambil anak, minat dan pendapat serta perbedaan kepribadiannya. Orang tua dengan pola asuh model ini, penuh dengan cinta kasih, mudah memerinci tetapi menuntut tingkah laku yang baik. Tegas dalam menjaga aturan bersedia memberi hukuman ringan tetapi dalam situasi hangat dan hubungan saling mendukung. Mereka menjelaskan semua tindakan dan hukuman yang mereka lakukan dan minta pendapat anak.
Anak
dari orang tua yang demikian akan merasa tenang dan nyaman. Mereka akan menajdi
paham kalau mereka disayangi tetapi sekaligus mengerti terhadap apa yang
diharapkan dari orang tua. Jadi anak sejak pra sekolah akan menunjukkan sikap
lebih mandiri, mampu mengontrol dirinya, biasa bersikap tegas dan suka
eksplorasi.
Kondisi yeng demikian itu tidak akan didapatkan anak bila orang tuanya
menerapkan pola asuh otoriter atau permisif. Karena anak-anak di bawah
asuhan otoriter akan menjadi pendiam, Penakut dan tidak percaya pada diri
mereka sendiri. Sementara anak-anak yang diasuh dengan model permisif akan
menajdi anak yang tidak mengenal aturan dan norma serta idak memiliki rasa
tanggung jawab.
Dengan berkaca pada kondisi saat ini, sudah saatnya orang tua sekarang
mengambil peran lebih untuk mengembangkan karakter dan memberi kesempatan untuk
tumbuh dan berkembang secara optimal agar anak menjadi manusia berkualitas.
E. Peran keluarga dalam
memfasilitasi anggota keluarga untuk menjadi makhluk individu dan makhluk
sosial sesuai norma-norma masyarakat yang berlaku.
Peran orang tua sangat lah pentinng dalam membentuk kepribadian seorang anak,
karena dari didikan orangtua lah yang membuat kita bisa menjadi seperti ini.
Orang tua juga sangatlah penting dalam membentuk pondasi dari kepribadian
seorang anak, saya sebagai seorang anak pun sangatlah merasakan peranan dari
orang tuadalam membentuk kepribadian diri saya, apa saja yang saya lakukan baik
sikap maupun kepribadian saya, sedikit banyak mengikuti sifat dari orangtua
saya, terutama hal yang sangat mereka tekankanpada saya, sejak saya kecil
hingga sekarang ini.
Sejak kecil, orang tua saya sudah menanamkan nilai-nilai moral, keagamaan, tata
krama, sopan santun, dan lain-lain. Di dalam materi kali ini saya akan
menceritakan beberapa hal peranan orang tua yang saya rasakan selama ini.
Peran orangtua untuk mengajarkan keagamaan, mungkin inilah yang sangat penting
yang di tekankan oleh orang tua saya, karena kedua orang tua saya penganut
agama islam, jadi erat bersandar pada al-quran dan sunnah rasulullah. Segala
sesuatu yang saya lakukan selalu di ingatkan orang tua saya agar tidak
melenceng dari isi al-quran sebagai pedoman hidup saya, dan segala sesuatu yang
saya lakukan selalu di ajarkan untuk meniru sikap dan sifat rasulullah saw,
karena orang tua saya beranggapan bahwa sebagai seorang muslimin dan mukminin,
bukan hanya menjalankan kewajiban saya sebagai seorang mukmin dan muslimin,dan
menjauhi segala larangan Allah SWT.
Tapi lebih dari itu, bagi orangtua saya, saya harus meneladani dan
mengikuti apa yang di ajarkan rasulullah, karena rasulullah merupakan contoh tauladan
bagi para umatnya. Dan saya yakin apabila saya meneladani dan mengamalkan sikap
dan sifat rasulullah, baik dalam beribadah maupun dalam melakukan aktifitas
sehari-hari, mungkin kita semua akan menjadi pribadi yang sidik, amanah,
tabligh, dan fatonah apa bila hidup kita dilandasi dengan agama dan meneladani
rasululah. Dan mungkin generasi bangsai ini akan menjadi generasi bangsa yang
sangat baik, dan apabila sikap dan contoh dari rasululah di jadikan pondasi
dalam hidup seseorang mungkin tidak ada lagi korupsi, pencurian dan pembunuhan
di negeri ini, dan saya yakin negeri ini akan menjadi negeri yang sangat damai.
Peran orang tua pun saya rasakan sewaktu orang tua saya mengajarkan tata
cara bersosialisasi, baik dalam bergaul terhadap sesama, dengan yang lebih
muda, maupun dengan yang lebih tua, mereka pun mengajarkanbagaimana sikap dan
perbuatan kita terhadap sebaya, atau yang lebih muda maupun yang lebih tua. Dan
hal tersebut menjadi suatu bekal bagi saya dalam bersosialisasi di masyarakat.
Orang
tua saya pun mengajarkan kepada saya untuk selalu hemat dan tidak
menghambur-hamburkan sesuatu, baik dalam bentuk uang, energi, barang, sumber
daya alam, maupun yang lainnya, karena itu adalah sifat setan. hal tersebut
sangat lah bermanfaat bagi saya, dan saya selalu ingat untuk tidak
menghampur-hamburkan atau pun hura-hura, dan saya juga di ajarkan untuk berbagi
kepada orang yang membutuhkan, karena rasulullah pun mengajarkan hal tersebut,
Kesimpulan yang bisa saya ambil dari materi kali ini adalah,
seseorang memiliki sifat dan karakter berdasarkan didikannya dan pondasi yang
di derikan oleh orang tuanya masing-masing. Dan tergantung bagai mana cara
orang tua mereka mengarahkan anaknya. Dan agar generasi penerus bangsa ini,
menjadi lebih baik, harus di mulai dari orangtua yang cerdas, dan memiliki
pengetahuan yang luas, memiliki nilai moral, dan senantiasa selalu berpedoman
kepada al-quran dan sunnah rasulullah. Sehingga generasi yang akan datang
menjadi generasi yang dapat memimpin negeri ini dengan baik.
F. Keambisian
Orang Tua Anak Menjadi Korban
Beberapa keambisian orang tua terhadap anakanya meliputi
yaitu:
F.1 Kekerasan
Terhadap Anak
Kekerasan terhadapa anak adalah tindak kekerasan secara fisik, seksual,
penganiyaan emosional, atau pengabaian terhadap anak. Di Amerika
Serikat, Pusat Pengendalian dan Pencegahan
Penyakit (CDC)
mendefinisikan penganiayaan anak sebagai setiap tindakan atau serangkaian
tindakan wali atau kelalaian oleh orang tua atau pengasuh lainnya yang
dihasilkan dapat membahayakan, atau berpotensi bahaya, atau memberikan ancaman
yang berbahaya kepada anak. Sebagian besar terjadi kekerasan terhadap anak di
rumah anak itu sendiri dengan jumlah yang lebih kecil terjadi di sekolah, di
lingkungan atau organisasi tempat anak berinteraksi. Ada empat kategori utama
tindak kekerasan terhadap anak: pengabaian, kekerasan
fisik, pelecehan emosional/psikologis, dan pelecehan seksual anak.
Yurisdiksi yang berbeda telah mengembangkan definisi mereka sendiri tentang apa
yang merupakan pelecehan anak untuk tujuan melepaskan anak dari keluarganya
dan/atau penuntutan terhadap suatu tuntutan pidana. Menurut Journal of
Child Abuse and Neglect, penganiayaan terhadap anak adalah "setiap
tindakan terbaru atau kegagalan untuk bertindak pada bagian dari orang tua atau
pengasuh yang menyebabkan kematian, kerusakan fisik serius atau emosional yang
membahayakan, pelecehan seksual atau eksploitasi, tindakan atau kegagalan
tindakan yang menyajikan risiko besar akan bahaya yang serius". Seseorang
yang merasa perlu untuk melakukan kekerasan terhadap anak atau mengabaikan anak
sekarang mungkin dapat digambarkan sebagai "pedopath".
F.2 Tipe
Kekerasan terhadap anak dapat mengambil beberapa bentuk: Empat jenis
utama adalah kekerasan secara fisik, seksual, psikologis, dan penelantaran.
F.3 Penelantaran
Penelantaran anak adalah di mana orang dewasa yang bertanggung jawab gagal
untuk menyediakan kebutuhan memadai untuk berbagai keperluan, termasuk fisik
(kegagalan untuk menyediakan makanan yang cukup, pakaian, atau kebersihan),
emosional (kegagalan untuk memberikan pengasuhan atau kasih sayang), pendidikan
(kegagalan untuk mendaftarkan anak di sekolah) , atau medis (kegagalan untuk
mengobati anak atau membawa anak ke dokter).
F.4 Kekerasan fisik
Kekerasan fisik
adalah agresi fisik diarahkan pada seorang anak oleh orang dewasa. Hal ini
dapat melibatkan meninju, memukul, menendang, mendorong, menampar, membakar,
membuat memar, menarik telinga atau rambut, menusuk, membuat tersedak atau
menguncang seorang anak.
Guncangan terhadap seorang anak dapat menyebabkan sindrom guncangan bayiyang dapat
mengakibatkan tekanan intrakranial, pembengkakan otak, cedera difus aksonal,
dan kekurangan oksigen yang mengarah ke pola seperti gagal tumbuh, muntah,
lesu, kejang, pembengkakan atau penegangan ubun-ubun, perubahan pada
pernapasan, dan pupil melebar. Transmisi racun pada anak melalui ibunya
(seperti dengan sindrom
alkohol janin) juga dapat dianggap penganiayaan fisik dalam
beberapa wilayah yurisdiksi.
Sebagian besar negara dengan hukum kekerasan terhadap anak mempertimbangkan
penderitaan dari luka fisik atau tindakan yang menempatkan anak dalam risiko
yang jelas dari cedera serius atau kematian tidak sah. Di luar ini, ada cukup
banyak variasi. Perbedaan antara disiplin anak dan tindak kekerasan sering
kurang didefinisikan. Budaya norma tentang apa yang merupakan tindak kekerasan
sangat bervariasi: kalangan profesional serta masyarakat yang lebih luas tidak
setuju pada apa yang disebut merupakan perilaku kekerasan.
Beberapa profesional yang bertugas di bidang manusia mengklaim bahwa
norma-norma budaya yang berhubungan dengan sanksi hukuman fisik adalah salah
satu penyebab kekerasan terhadap anak dan mereka telah melakukan kampanye untuk
mendefinisikan kembali norma-norma tersebut.
Penggunaan tindak kekerasan apapun terhadap anak-anak sebagai tindakan disiplin
adalah ilegal di 24 negara di seluruh dunia, akan tetapi lazim dan diterima secara
sosial di banyak negara lainnya. Lihat hukuman di rumah untuk
informasi lebih lanjut.
F.5 Pelecehan seksual anak
Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana
orang dewasa atau pelanggaran yang dilakukan oleh remaja yang lebih tua
terhadap seorang anak untuk mendapatkan stimulasi seksual. Bentuk pelecehan
seksual anak termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan
aktivitas seksual (terlepas dari hasilnya), paparan senonoh dari alat kelamin
kepada anak, menampilkan pornografi kepada anak, kontak seksual yang sebenarnya
terhadap anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak, melihat alat kelamin anak
tanpa kontak fisik, atau menggunakan anak untuk memproduksi pornografi
anak.
Pengaruh pelecehan seksual anak termasuk rasa bersalah dan menyalahkan diri,
kenangan buruk, mimpi buruk, insomnia, takut hal
yang berhubungan dengan pelecehan (termasuk benda, bau, tempat, kunjungan
dokter, dll), masalah harga diri,disfungsi seksual, sakit kronis
, kecanduan, melukai diri sendiri, keinginan bunuh
diri, keluhan
somatik, depresi, gangguan stres pasca trauma, kecemasan, penyakit
mental lainnya (termasuk gangguan kepribadian). dan gangguan identitas disosiatif, kecenderungan
untuk mengulangi tindakan kekerasan setelah dewasa, bulimia
nervosa,
cedera fisik pada anak di antara masalah-masalah lainnya. Sekitar 15% sampai
25% wanita dan 5% sampai 15% pria yang mengalami pelecehan seksual ketika
mereka masih anak-anak. Kebanyakan pelaku pelecehan seksual adalah orang yang
kenal dengan korban mereka; sekitar 30% adalah keluarga dari anak, paling
sering adalah saudara, ayah, ibu, paman atau sepupu, sekitar 60% adalah kenalan
teman lain seperti keluarga, pengasuh anak, atau tetangga; orang asing adalah
yang melakukan pelanggar hanya sekitar 10% dari kasus pelecehan seksual anak.
F.6 Kekerasan emosional/Psikologis
Dari semua kemungkinan bentuk pelecehan, pelecehan emosional adalah yang paling
sulit untuk didefinisikan. Itu bisa termasuk nama panggilan, ejekan, degradasi,
perusakan harta benda, penyiksaan atau perusakan terhadap hewan peliharaan,
kritik yang berlebihan, tuntutan yang tidak pantas atau berlebihan, pemutusan komunikasi, dan pelabelan
sehari-hari atau penghinaan.
Korban kekerasan emosional dapat bereaksi dengan menjauhkan diri dari pelaku,
internalisasi kata-kata kasar atau dengan menghina kembali pelaku penghinaan.
Kekerasan emosional dapat mengakibatkan gangguan kasih sayang yang abnormal
atau terganggu, kecenderungan korban menyalahkan diri sendiri (menyalahkan diri
sendiri) untuk pelecehan tersebut, belajar untuk tak berdaya, dan terlalu
bersikap pasif.
Menurut Komite Nasional (Amerika) untuk Tindak Pencegahan Kekerasan pada Anak,
pada tahun 1997 pengabaian mewakili 54% kasus kekerasan terhadap anak yang
terkonfirmasi, kekerasan fisik 22%, pelecehan seksual 8%, kekerasan emosional
4% dan bentuk kekerasan lainnya sebesar 12%.
F.6 Kematian
Sebuah kematian akibat kekerasan terhadap anak adalah ketika kematian anak
adalah hasil dari kekerasan atau kelalaian, atau bila kekerasan dan/atau
pengabaian menjadi faktor yang berkontribusi untuk kematian anak.
F.7 Penyebab
Kekerasan pada anak merupakan fenomena yang kompleks dengan penyebab yang
bermacam-macam. Memahami penyebab kekerasan sangat penting untuk mengatasi
masalah kekerasan terhadap anak.
F.8 Efek
Ada asosiasi kuat antara paparan penganiayaan anak-anak dalam segala bentuk dan
tingkat yang lebih tinggi dari kondisi kronis.
F.8.1 Efek pada fisik
Anak-anak yang secara fisik pelecehan cenderung menerima patah tulang terutama
patah tulang rusuk dan mungkin memiliki risiko lebih tinggi terkena
kanker.
F.9 Pencegahan
April telah ditetapkan sebagai bulan Pencegahan Tindak Kekerasan Terhadap Anak
di Amerika Serikat sejak
tahun 1983. Presiden AS Barack
Obama melanjutkan
tradisi yang dengan menyatakan bulan April
2009 sebagai
Bulan Pencegahan Kekerasan terhadap Anak. Salah satu cara yang dilakukan
oleh pemerintah Federal Amerika Serikat dengan menyediakan dana untuk mencegah
tindak kekerasan terhadap anak adalah melalui Dana Hibah Berbasis Masyarakat
untuk Pencegahan Pelecehan dan Pengabaian terhadap Anak (CBCAP).
G. Faktor
penyebab sehingga seseorang tidak bergairah belajar
Kualitas pembelajaran dan prestasi belajar di Indonesia sampai saat ini masih
belum mengalami perubahan yang menggembirakan. Secara umum prestasi belajar siswa/mahasiswa
di Indonesia lebih rendah. Terbukti dari sebagian besar siswa yang tidak lulus
Ujian disebabkan tidak dapat memenuhi batas minimal kelulusan yang ditargetkan.
Prestasi belajar masih relatif rendah. Hal ini ditunjukkan dari perolehan
nilai rata-rata Ujian Akhir Nasional pada lima tahun terakhir yang tergolong
rendah. Rendahnya prestasi belajar disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya
dalam lingkungan pendidkan sekolah atau perguruan tinggi antara lain adalah
factor guru/dosen, siswa/mahasiswa, dan proses belajar mengajar.
Dari hasil observasi langsung pada proses belajar dan hasil wawancara
menyatakan bahwa sebagian siswa dapat disimpulkan bahwa akar masalahnya adalah
pada faktor proses pembelajaran, yaitu : 1) rendahnya pemberdayaan aktivitas
siswa/mahasiswa dalam proses pembelajaran, sehingga aktivitas siswa/mahasiswa
sebagian besar hanya mendengar, menulis (mencatat) penjelasan guru/dosen, dan
latihan soal yang diberikan oleh guru/dosen, 2) kurangnya pemotivasian siswa
untuk ikut aktif dalam pengolahan pesan pelajaran, sehingga banyak
siswa/mahasiswa yang kurang peduli, masa bodoh, kurang percaya diri, dan kurang
bergairah dalam belajar.
Bertitik tolak
dari latar belakang, rumusan masalah dan faktor penyebabnya peneliti
menyimpulkan bahwa rendahnya prestasi atau kurang bergairah dalam belajar
belajar terletak pada 1) rendahnya pemberdayaan peran aktif siswa/mahasiswa
dalam proses pembelajaran, dan 2) kurangnya pemotivasian siswa/mahasiswa untuk
ikut aktif dalam pengolahan pesan pelajaran. Oleh karena itu pengubahan desain
dan strategi pembelajaran yang dapat mendorong aktivitas dan motivasi belajar
siswa/mahasiswa sangat diperlukan. Desain dan strategi pembelajaran yang
diterapkan yaitu dengan pembelajaran, Kooperatif tipe TPS, dengan desain dan
strategi pembelajaran tersebut diharapkan dapat meningkatkan aktivitas dan
motivasi belajar siswa/mahasiswa yang muaranya adalah meningkatnya prestasi
belajar atau gairah dalam belajar siswa/mahasiswa. Argumennya adalah karena
pembelajaran kooperatif TPS menuntut siswa/mahasiswa untuk mampu melakukan
kegiatan memecahkan masalah secara mandiri, bekerja sama memecahkan masalah
dengan pasangan/kelompoknya, mampu untuk berbagi hasil pemecahannya kepada
kelas, saling bertukar gagasan secara klasikal, memberi kesempatan kepada
siswa/mahasiswa untuk menerapkan pengalamannya, pengetahuannnya, konsep, dan
prinsip yang telah dimilikinya, mengembangkan kemampuan siswa/mahasiswa untuk
berpikir kritis dan kreatif, sikap demokratis dan terbuka, menggunakan dan
mengembangkan idenya, memanfaatkan berbagai sumber belajar, sehingga terdorong
untuk menggali informasi, pustaka maupun sumber lainnya dalam rangka perumusan
dan pemecahan masalah (memberdayakan aktivitasnya) sehingga memungkinkan untuk
menemukan pesan-pesan pelajaran yang diinginkan.
Dalam pembelajarn
kooperatif TPS secara langsung belajar mengevaluasi logika dirinya dan
posisinya terhadap orang lain, hal ini dapat mengembangkan motivasi untuk
belajar yang lebih lanjut. Penghargaan setiap pencapaian yang baik kepada
individu maupun kelompok akan menimbulkan kepuasan tersendiri dalam diri siswa
yang bermuara pada peningkatan motivas atau gairah dalam belajar. Dengan
demikian diharapkan bahwa pembelajaran kooperatif TPS dapat meningkatkan
aktivitas dan motivasi belajar.
Apabila aktivitas dan
motivasi belajar meningkat diharapkan prestasi belajar atau gairah dalam
juga meningkat. Indikator keberhasilan tindakan (action) dan metode
pengukurannya adalah sebagai berikut :
Tabel 1.1. Indikator Keberhasilan
Tindakan (Action) dan Metode
Pengukurannya
No
|
Indikator
|
Metode
|
Pengukuran dan Evaluasi
|
1.
|
Indikator
proses.
|
Aktivitas
siswa dalam
KBM.
|
a.Indikator diukur
dari keadaan awal, yaitu
rendahnya
aktivitas siswa dalam KBM
(aktivitas
siswa dalam KBM didominasi
dengan
kegiatan mendengar dan mencatat
pelajaran)
b.Aktivitas
siswa diukur dari intensitas
keterlibatan
siswa dalam pengolahan pesan
pelajaran
yang ditandai dengan meningkatnya
kegiatan
mengerjakan LKS, berdiskusi,
mengajukan
pertanya-an, menyampaikan
pendapat/
gagasan, menyimpulkan dan
mengkomunikasikan
pesan pelajaran baik
dalam
kelompok kecil maupun dalam kelas.
c.Pengukuran
dilakukan oleh pengamat melalui
lembar
observasi.
|
2.
|
Motivasi
belajar siswa
|
a. Dorongan
ingin tahu
(sikap
antusiasme/penuh
perhatian,
kesungguhan,
keuletan,
suka bertanya,
suka
berlatih)
b. Dorongan
pemenuhan
kepuasan
(gairah bela-jar,
tidak mudah
jenuh, rasa
senang/ceria,
ingin
mengulangi
perbuatan)
c. Dorongan
percaya diri
(keberanian,
optimis-me,
kesiapan)
|
a.Indikator
diukur dari motivasi awal, yaitu
rendahnya
motivasi siswa dalam pembelajaran
yang ditandai
dengan :
1) Rendahnya
dorongan ingin tahu
2) Rendahnya
dorongan pemenuhan
Kepuasan
3) Rendahnya
dorongan percaya diri
4) Rendahnya
dorongan untuk mencapai hasil.
b.Motivasi
diukur dari persentase banyaknya
siswa yang
terdorong untuk memperhatikan,
bertanya,
berlatih, bergairah, berani menjawab
pertanyaan,
banyak ide/gagasan, percaya diri,
berpikir dan
bekerjasama., komunikatif,
c.Pengukuran
dilakukan oleh tim peneliti
5
d. Dorongan
untuk mencapai
hasil
(kerjasama,
kreatif/banyak
ide, dan
komunikatif)
melalui
angket yang diberikan pada akhir
siklus.terkhir.
|
3.
|
Indikator
produk
|
Nilai ulangan
harian
(postest)
|
a. Setiap
akhir siklus diberikan ulangan
harian
(postes)
b. Hasil
olahan ulangan harian dikon-sultasikan
dengan
kriteria ketuntasan individu dan ketuntasan kelas.
|
H. Kesalahan
orang tua dalam Mendidik Anak
Anak adalah amanah bagi kedua orang
tuanya. Maka, kita sebagai orang tua bertanggung jawab terhadap amanah ini.
Tidak sedikit kesalahan dan kelalaian dalam mendidik anak telah menjadi
fenomena yang nyata. Sungguh merupakan malapetaka besar ; dan termasuk
menghianati amanah Allah. Adapun rumah, adalah sekolah pertama bagi anak.
Kumpulan dari beberapa rumah itu akan membentuk sebuah bangunan masyarakat.
Bagi seorang anak, sebelum mendapatkan pendidikan di sekolah dan masyarakat, ia
akan mendapatkan pendidikan di rumah dan keluarganya. Ia merupakan prototype
kedua orang tuanya dalam berinteraksi sosial. Oleh karena itu, disinilah peran
dan tanggung jawab orang tua, dituntut untuk tidak lalai dalam mendidik
anak-anak.
H.1 Bahaya Lalai Dalam Mendidik
Anak
Orang tua memiliki hak yang wajib
dilaksanakan oleh anak-anaknya. Demikian pula anak, juga mempunyai hak yang
wajib dipikul oleh kedua orang tuanya. Disamping Allah memerintahkan kita untuk
berbakti kepada kedua orang tua. Allah juga memerintahkan kita untuk berbuat
baik (ihsan) kepada anak-anak serta bersungguh-sungguh dalam mendidiknya.
Demikian ini termasuk bagian dari menunaikan amanah Allah. Sebaliknya,
melalaikan hak-hak mereka termasuk perbuatan khianat terhadap amanah Allah.
Banyak nash-nash syar’i yang mengisyaratkannya. Allah berfirman.
“Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang
berhak menerimanya” [An-Nisa : 58]
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhamamd) dan (juga) janganlah
kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu
mengetahui” [Al-Anfal : 27]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta
pertanggung jawaban terhadap yang dipimpin. Maka, seorang imam adalah pemimpin
dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin
bagi keluarganya dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya” [Hadits
Riwayat Al-Bukhari]
“Artinya : Barangsiapa diberi amanah oleh
Allah untuk memimpin lalu ia mati (sedangkan pada) hari kematiannya dalam
keadaan mengkhianati amanahnya itu, niscaya Allah mengharamkan sorga bagianya”
[Hadits Riwayat Al-Bukhari]
H.2
Beberapa kesalahan orang tua dalam mendidik anak
Meskipun banyak orang tua yang
mengetahui, bahwa mendidik anak merupakan tanggung jawab yang besar, tetapi
masih banyak orang tua yang lalai dan menganggap remeh masalah ini. Sehingga
mengabaikan masalah pendidikan anak ini, sedikitpun tidak menaruh perhatian
terhadap perkembangan anak-anaknya.
Baru kemudian, ketika anak-anak
berbuat durhaka, melawan orang tua, atau menyimpang dari aturan agama dan
tatanan sosial, banyak orang tua mulai kebakaran jenggot atau justru
menyalahkan anaknya. Tragisnya, banyak yang tidak sadar, bahwa sebenarnya orang
tuanyalah yang menjadi penyebab utama munculnya sikap durhaka itu.
Lalai atau salah dalam mendidik
anak itu bermacam-macam bentuknya ; yang tanpa kita sadari memberi andil
munculnya sikap durhaka kepada orang tua, maupun kenakalan remaja.
Berikut ini sepuluh bentuk kesalahan yang sering dilakukan oleh orang tua dalam
mendidik anak-anaknya yaitu:
1.
. Menumbuhkan Rasa Takut Dan Minder
Pada Anak. Kadang, ketika anak menangis, kita menakut-nakuti mereka agar
berhenti menangis. Kita takuti mereka dengan gambaran hantu, jin, suara angin
dan lain-lain. Dampaknya, anak akan tumbuh menjadi seorang penakut : Takut pada
bayangannya sendiri, takut pada sesuatu yang sebenarnya tidak perlu ditakuti.
Misalnya takut ke kamar mandi sendiri, takut tidur sendiri karena seringnya
mendengar cerita-cerita tentang hantu, jin dan lain-lain. Dan yang paling parah
tanpa disadari, kita telah menanamkan rasa takut kepada dirinya sendiri. Atau
misalnya, kita khawatir ketika mereka jatuh dan ada darah di wajahnya, tangan
atau lututnya. Padahal semestinya, kita bersikap tenang dan menampakkan
senyuman menghadapi ketakutan anak tersebut. Bukannya justru menakut-nakutinya,
menampar wajahnya, atau memarahinya serta membesar-besarkan masalah. Akibatnya,
anak-anak semakin keras tangisnya, dan akan terbiasa menjadi takut apabila
melihat darah atau merasa sakit.
2.
Mendidiknya Menjadi Sombong, Panjang
Lidah, Congkak Terhadap Orang Lain. Dan Itu Dianggap Sebagai Sikap Pemberani.
Kesalahan ini merupakan kebalikan point pertama. Yang benar ialah bersikap
tengah-tengah, tidak berlebihan dan tidak dikurang-kurangi. Berani tidak harus
dengan bersikap sombong atau congkak kepada orang lain. Tetapi, sikap berani
yang selaras tempatnya dan rasa takut apabila memang sesuatu itu harus
ditakuti. Misalnya : takut berbohong, karena ia tahu, jika Allah tidak suka
kepada anak yang suka berbohong, atau rasa takut kepada binatang buas yang
membahayakan. Kita didik anak kita untuk berani dan tidak takut dalam
mengamalkan kebenaran.
3.
Membiasakan Anak-Anak Hidup
Berfoya-foya, Bermewah-mewah Dan Sombong. Dengan kebiasaan ini, sang anak
bisa tumbuh menjadi anak yang suka kemewahan, suka bersenang-senang. Hanya
mementingkan dirinya sendiri, tidak peduli terhadap keadaan orang lain.
Mendidik anak seperti ini dapat merusak fitrah, membunuh sikap istiqomah dalam
bersikap zuhud di dunia, membinasakah muru’ah (harga diri) dan kebenaran.
4.
Selalu Memenuhi Permintaan Anak.
Sebagian orang tua ada yang selalu memberi setiap yang diinginkan
anaknya, tanpa memikirkan baik dan buruknya bagi anak. Padahal, tidak setiap
yang diinginkan anaknya itu bermanfaat atau sesuai dengan usia dan kebutuhannya.
Misalnya si anak minta tas baru yang sedang trend, padahal baru sebulan yang
lalu orang tua membelikannya tas baru. Hal ini hanya akan menghambur-hamburkan
uang. Kalau anak terbiasa terpenuhi segala permintaanya, maka mereka akan
tumbuh menjadi anak yang tidak peduli pada nilai uang dan beratnya mencari
nafkah. Serta mereka akan menjadi orang yang tidak bisa membelanjakan uangnya
dengan baik.
5.
Selalu Memenuhi Permintaan Anak.
Ketika Menangis, Terutama Anak Yang Masih Kecil. Sering terjadi, anak kita yang
masih kecil minta sesuatu. Jika kita menolaknya karena suatu alasan, ia akan
memaksa atau mengeluarkan senjatanya, yaitu menangis. Akhirnya, orang tua akan
segera memenuhi permintaannya karena kasihan atau agar anak segera berhenti
menangis. Hal ini dapat menyebabkan sang anak menjadi lemah, cengeng dan tidak
punya jati diri.
6.
Terlalu Keras Dan Kaku Dalam
Menghadapi Mereka, Melebihi Batas Kewajaran. Misalnya dengan memukul mereka
hingga memar, memarahinya dengan bentakan dan cacian, ataupun dengan cara-cara
keras lainnya. Ini kadang terjadi ketika sang anak sengaja berbuat salah.
Padahal ia (mungkin) baru sekali melakukannya.
7.
Terlalu Pelit Pada Anak-Anak,
Melebihi Batas Kewajaran . Ada juga orang tua yang terlalu pelit kepada
anak-anaknya, hingga anak-anaknya merasa kurang terpenuhi kebutuhannya. Pada
akhirnya mendorong anak-anak itu untuk mencari uang sendiri dengan bebagai
cara. Misalnya : dengan mencuri, meminta-minta pada orang lain, atau dengan
cara lain. Yang lebih parah lagi, ada orang tua yang tega menitipkan anaknya ke
panti asuhan untuk mengurangi beban dirinya. Bahkan, ada pula yang tega menjual
anaknya, karena merasa tidak mampu membiayai hidup. Naa’udzubillah
mindzalik
8.
Tidak Mengasihi Dan Menyayangi Mereka,
Sehingga Membuat Mereka Mencari Kasih Sayang Diluar Rumah Hingga Menemukan Yang
Dicarinya. Fenomena demikian ini banyak terjadi. Telah menyebabkan anak-anak
terjerumus ke dalam pergaulan bebas –waiyadzubillah-. Seorang anak perempuan
misalnya, karena tidak mendapat perhatian dari keluarganya ia mencari perhatian
dari laki-laki di luar lingkungan keluarganya. Dia merasa senang mendapatkan
perhatian dari laki-laki itu, karena sering memujinya, merayu dan sebagainya.
Hingga ia rela menyerahkan kehormatannya demi cinta semu.
9.
Hanya Memperhatikan Kebutuhan
Jasmaninya Saja. Banyak orang tua yang mengira, bahwa mereka telah memberikan
yang terbaik untuk anak-anaknya. Banyak orang tua merasa telah memberikan
pendidikan yang baik, makanan dan minuman yang bergizi, pakaian yang bagus dan
sekolah yang berkualitas. Sementara itu, tidak ada upaya untuk mendidik
anak-anaknya agar beragama secara benar serta berakhlak mulia. Orang tua lupa,
bahwa anak tidak cukup hanya diberi materi saja. Anak-anak juga membutuhkan
perhatian dan kasih sayang. Bila kasih sayang tidak di dapatkan dirumahnya,
maka ia akan mencarinya dari orang lain.
10.
Terlalu Berprasangka Baik Kepada
Anak-Anaknya. Ada sebagian orang tua yang selalu berprasangka baik kepada
anak-anaknya. Menyangka, bila anak-anaknya baik-baik saja dan merasa tidak
perlu ada yang dikhawatirkan, tidak pernah mengecek keadaan anak-anaknya, tidak
mengenal teman dekat anaknya, atau apa saja aktifitasnya. Sangat percaya kepada
anak-anaknya. Ketika tiba-tiba, mendapati anaknya terkena musibah atau gejala
menyimpang, misalnya terkena narkoba, barulah orang tua tersentak kaget.
Berusaha menutup-nutupinya serta segera memaafkannya. Akhirnya yang tersisa
hanyalan penyesalan tak berguna.
Demikianlah sepuluh kesalahan yang sering
dilakukan orang tua. Yang mungkin kita juga tidak menyadari bila telah
melakukannya. Untuk itu, marilah berusaha untuk terus menerus mencari ilmu,
terutama berkaitan dengan pendidikan anak, agar kita terhindar dari
kesalahan-kesalahan dalam mendidik anak, yang bisa menjadi fatal akibatnya bagi
masa depan mereka. Kita selalu berdo’a, semoga anak-anak kita tumbuh menjadi
generasi shalih dan shalihah serta berakhlak mulia.
DAFTAR PUSTAKA
3. Baron, R. A dan Donn Byrne. 2003. Psikologi Sosial. Jakarta:
Erlangga
4. Richard R Clayton. 2003. The Family, Mariage and Social Change. hal.
58
5. Anita L. Vangelis.2004. Handbook of Family Comunication. USA:
Lawrence Elbraum Press. hal 349.
6. Jhonson, C.L. 1988. Ex Familia. New Brunswick: Rutger
University Press
7. Fr Tderique Holdert dan Gerrit Antonides, “Family Type Effects on
Household Members Decision Making”, Advances in Consumer Research Volume
24 (1997), eds. Merrie Brucks and Deborah J. MacInnis, Provo, UT: Association
for Consumer Research, Pages: 48-54
8. Hadikusumo, Kunaryo,dkk.1996. Pengantar Pendidikan. Semarang : IKIP
Semarang Press.
9. Arends, Richard
I. (1997). Classroom Instruction and Management. New York :Mcgraw-Hill.
10. Depdiknas (2006). Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). Jakarta : Pusat Kurikulum
Balitbang Depdiknas .
11. Ibrahim, M. dkk. (2000). Pembelajaran
Kooperatif. Surabaya : Unesa.
12. Khabibah, Siti. (1999). PengembanganPerangkat
Pembelajaran Matematika
Pokok Bahasan Aljabar dengan Penekanan Reciprocal
Teaching.
Tesis. Surabaya :UNESA.
13. Lie, Anita. (2004). Cooperatif Learning.
Jakarta : Grasindo.
14. Nurhadi. (2004). Kurikulum 2004 Pertanyaan
& Jawaban. Jakarta : Grasindo.
15. Nur, Muhammad. (1998). Pembelajaran
Kooperatif (terjemahan Classroom Instruction and
Management Bab III oleh Richard Arends) Surabaya : IKIP Surabaya.
16. Nur, Muhammad dan Wikandari, Prima Retno.
(1998). Pendekatan-Pendekatan Konstruktivist
dalam Pembelajaran. Surabaya : IKIP Surabaya.
17. Ranah, Lince. (2001). Efektivitas Model
pembelajaran Kooperatif dengan Pendekatan
Struktural pada Pokok Bahasan Persamaan Garis Lurus di Kelas II SLTP. Tesis.
Surabaya : UNESA.
18. Slavin, E. Robert. (1994). Educational
Psychologi Theory and Practice. Boston.
19. Soedjadi. (1992). Meningkatkan Minat Siswa
terhadap Matematika. Surabaya : Media Pendidikan dan
Ilmu Pengetahuan.
20. Sulistyaningrum, Heny. (2006). Penerapan
Pembelajaran Kooperatif Tipe TPS untuk Meningkatkan
Kualitas Pembelajaran Fisika Siswa SMA. Tuban : IKIP PGRI Tuban.
21. Tanjung, Rosye Rita M. (1998). Penerapan
Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD untuk
Meningkatkan Kualitas Proses Belajar Mengajar Biologi. Tesis. Surabaya
: IKIP Surabaya.
22. Wahyana. (1986). Pengelolaan Pembelajaran,
Modul UT. Jakarta : Karunika.
23. Crist, T. A. J.; Washburn, A.; Park, H.; Hood,
I.; Hickey, M. A. (1997). "Cranial Bone Displacement as a Taphonomic
Process in Potential Child Abuse Cases". In Haglund, W. D. & Sorg,
M. A. Forensic Taphonomy: the Postmortem Fate of Human Remains.
Boca Raton: CRC Press. hlm. 319–336.
24. Crosson-Tower, C. (2008). Understanding
Child Abuse and Neglect. Boston, MA: Pearson Education.
25. Finkelhor, D. (2008-02-19). Childhood
Victimization: Violence, Crime, and Abuse in the Lives of Young People. Oxford
University Press. hlm. 244.
26. Hoyano, L.; Keenan C. (2007). Child
Abuse: Law and Policy Across Boundaries. Oxford University Press.
27. Korbin, Jill E. (1983). Child abuse and
neglect: cross-cultural perspectives. Berkeley, CA: University of
California Press.