Kamis, 18 Desember 2014


Tana Toraja
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan sekitar 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa.[1] Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk"). Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.
Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelum penjajahan Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi. "Toraja" (dari bahasa pesisir to, yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi. Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar—seperti suku Bugis, suku Makassar, dan suku Mandar yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi—daripada dengan sesama suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja. Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama—suku Bugis (meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang, pembuat kapal dan pelaut), dan suku Toraja (petani di dataran tinggi).










Maros

Air Terjun Bantimurung
Kawasan ini terletak di lembah bukit kapur / karas yang curam dengan vegetasi tropis yang subur, sehingga selain memiliki air terjun yang spektakuler juga menjadi habitat yang ideal bagi berbagai spesies kupu-kupu, burung dan serangga endemik yang langka. Air Terjun ini memiliki lebar 20 meter dan tinggi 15 meter. Di bawah curahan air terjun terdapat sebuah tempat pemandian dari landasan batu kapur yang keras dan tertutup lapisan mineral akibat aliran air selama ratusan tahun. Di sebelah kiri air terjun terdapat tangga beton setinggi 10 meter yang merupakan jalan menuju dua gua yang ada di sekitar air terjun, yaitu Gua Mimpi dan Gua Batu. Tempat ini berada di Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.

Taman Prasejarah Leang-Leang
Terletak pada deretan bukit kapur yang curam. Para arkeolog berpendapat bahwa beberapa gua yang terdapat di area ini pernah dihuni oleh manusia purba sekitar 3000 – 8000 tahun sebelum masehi, ditandai dengan terdapatnya lukisan-lukisan pra sejarah yang terdapat di dinding gua berupa gambar babi rusa, dan gambar telapak tangan. Selain itu juga ditemukan benda laut berupa karang yang menandakan bahwa gua tersebut pernah tenggelam dan dikelilingi oleh lautan. Taman Prasejarah Leang-Leang terletak sekitar 11 km dari di Kabupaten Maros.

Tempat Wisata Maros
Goa Pattunuang Maros
Tempat Wisata Maros di Desa Samangki, Simbang, dengan stalaktit dan stalakmit, ada batu besar berbentuk perahu yang disebut Biseang Labbororo (perahu terdampar), dengan panorama alam indah.
Makam Kassi Kebo Maros
Tempat Wisata Maros di Jl. Taqwa, Desa Baju Bodoa, Kec Turikale, yang merupakan kompleks pekuburan Karaeng Marusu dan keluarganya.
Makam Karaeng Simbang Maros
Tempat Wisata Maros di di Desa Samangki, Kec Simbang, yang merupakan kompleks pekuburan Karaeng Simbang beserta keluarganya.
Pantai Kuri Maros
Tempat Wisata Maros di Desa Nisombalia, Kecamatan Marusu, 23 km dari Kota Makassar, dengan pasir putih di sepanjang pantai, dan pemandangan matahari terbenam. Namun aksesnya kurang baik.
Pendopo Pallantikang Karaeng Marusu Maros
Tempat Wisata Maros di Desa Pallantikang, Kecamatan Turikale, yang merupakan tempat pelantikan Karaeng Marusu pada masa kerajaan masih ada.
Rumah Adat Karaeng Loe Ripakere Maros
Tempat Wisata Maros di Desa Pakere, Kecamatan Simbang, yang semula merupakan istana Karaeng Loe Ripakere, Raja Marusu pertama yang berkuasa sekitar abad XV.
Situs Prasejarah Leang-leang Maros
Tempat Wisata Maros di Kelurahan Kallabirang, Kecamatan Bantimurung, 30 menit dari Bantimurung, dengan goa di perbukitan kapur yang pernah dihuni manusia purba bergambar babi rusa dan telapak tangan.
Situs Prasejarah Leang Akkarrasa Rammang-rammang Maros
Tempat Wisata Maros di Desa Salenrang, Kec Bontoa, berupa dua buah gua dengan peninggalan prasejarah berupa lukisan cakra, babi rusa, ikan dan lukisan perahu.
Taman Safari Pucak Maros, Tempat Wisata Maros di Desa Pucak, Kec Tanralili, 20 km dari Kota Maros, 39 km dari Kota Makassar, seluas 150 Ha, yang terhenti pembangunannya saat Orde Baru runtuh, dan berubah menjadi agrowisata.

Senin, 23 Juni 2014

MAKALAH PENDIDIKAN KELUARGA







Logo Besar.png
           







MAKALAH
PENDIDIKAN KELUARGA







Oleh :

BAHARUDDIN
1342042001








JURUSAN PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2014





KATA PENGANTAR

    Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh...
Syukur Alhamdulillah merupakan kata yang paling pantas untuk kami ucapkan dan puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. atas berkat Rahmat yang telah Dia berikan kepada kami semua sehingga kami dapat sampai pada saat penyusunan makalah ini. Tak lupa pula sholawat dan salam kami kirimkan kepada Nabi Muhammad SAW., Nabi yang telah membawa kita dari alam yang gelap gulita menuju alam yang terang benderang.
Besar harapan kami agar apa yang telah kami laksankan selama ini dapat bermanfaat dan mendapat ridho Allah SWT., serta bernilai ibadah disisi Allah SWT. Amin..
Seperti sebuah pepatah yang mengatakan bahwa “Tak Ada Gading yang Tak retak”, sama halnya seperti kami yang tak luput dari kesalahan. Maka dari itu, dengan segala kerendahan hati kami memohon maaf yang sebesar-besarnya jika terdapat sesuatu hal yang tidak berkenan dihati, kritik dan saran sangat bermanfaat. Akhir kata, semoga kita senantiasi diberikan limpahan Rahmat dan Hidayah dari Allah SWT. Amin..

     Wassalamu’ Alaikum Warahmatullahi wabarakatuh..


 Penyusun








A.   Pengertian Keluarga

         Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan.
      Menurut Salvicion dan Celis (1998) di dalam keluarga terdapat dua atau lebih dari dua pribadi yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan, di hidupnya dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan di dalam perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan.
A.1 Jenis Keluarga
      Ada beberapa jenis keluarga, yakni: keluarga inti yang terdiri dari suami, istri, dan anak atau anak-anak, keluarga konjugal yang terdiri dari pasangan dewasa (ibu dan ayah) dan anak-anak mereka, di mana terdapat interaksi dengan kerabat dari salah satu atau dua pihak orang tua. Selain itu terdapat juga keluarga luas yang ditarik atas dasar garis keturunan di atas keluarga aslinya. Keluarga luas ini meliputi hubungan antara paman, bibi, keluarga kakek, dan keluarga nenek.
A.2 Peranan Keluarga
      Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku antar pribadi, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan pribadi dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan pribadi dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga,kelompok dan masyarakat. Berbagai peranan yang terdapat dalam keluarga adalah sebagai berikut:
      Ayah sebagai suami dari isteri dan ayah dari anak-anaknya, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya. Sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga ibu dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya. Anak-anak melaksanakan peranan psikosial sesuai dengan tingkat perkembangannya baik fisikmentalsosial, dan spiritual.
A.3 Tugas Keluarga
       Pada dasarnya tugas keluarga ada delapan tugas pokok sebagai berikut:
1.   Pemeliharaan fisik keluarga dan para anggotanya.
2.   Pemeliharaan sumber-sumber daya yang ada dalam keluarga.
3.      Pembagian tugas masing-masing anggotanya sesuai dengan kedudukannya masing-masing.
4.   Sosialisasi antar anggota keluarga.
5.   Pengaturan jumlah anggota keluarga.
6.   Pemeliharaan ketertiban anggota keluarga.
7.   Penempatan anggota-anggota keluarga dalam masyarakat yang lebih luas.
8.   Membangkitkan dorongan dan semangat para anggotanya.
A.4 Fungsi Keluarga                                                        
Fungsi yang dijalankan keluarga adalah:
1.     Fungsi Pendidikan dilihat dari bagaimana keluarga mendidik dan menyekolahkan anak untuk mempersiapkan kedewasaan dan masa depan anak.
2.     Fungsi Sosialisasi anak dilihat dari bagaimana keluarga mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik.
3.     Fungsi Perlindungan dilihat dari bagaimana keluarga melindungi anak sehingga anggota keluarga merasa terlindung dan merasa aman.
4.     Fungsi Perasaan dilihat dari bagaimana keluarga secara instuitif merasakan perasaan dan suasana anak dan anggota yang lain dalam berkomunikasi dan berinteraksi antar sesama anggota keluarga. Sehingga saling pengertian satu sama lain dalam menumbuhkan keharmonisan dalam keluarga.
5.     Fungsi Agama dilihat dari bagaimana keluarga memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota keluarga lain melalui kepala keluarga menanamkan keyakinan yang mengatur kehidupan kini dan kehidupan lain setelah dunia.
6.     Fungsi Ekonomi dilihat dari bagaimana kepala keluarga mencari penghasilan, mengatur penghasilan sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi rkebutuhan-kebutuhan keluarga.
7.     Fungsi Rekreatif dilihat dari bagaimana menciptakan suasana yang menyenangkan dalam keluarga, seperti acara nonton TV bersama, bercerita tentang pengalaman masing-masing, dan lainnya.
8.     Fungsi Biologis dilihat dari bagaimana keluarga meneruskan keturunan sebagai generasi selanjutnya.
9.     Memberikan kasih sayang, perhatian, dan rasa aman di antara keluarga, serta membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga.
A.5 Bentuk keluarga
   Ada dua macam bentuk keluarga dilihat dari bagaimana keputusan diambil, yaitu berdasarkan lokasi dan berdasarkan pola otoritas.
A.5.1 Berdasarkan lokasi
1.       Adat utrolokal, yaitu adat yang memberi kebebasan kepada sepasang suami istri untuk memilih tempat tinggal, baik itu di sekitar kediaman kaum kerabat suami ataupun di sekitar kediamanan kaum kerabat istri.
2.       Adat virilokal, yaitu adat yang menentukan bahwa sepasang suami istri diharuskan menetap di sekitar pusat kediaman kaum kerabat suami.
3.       Adat uxurilokal, yaitu adat yang menentukan bahwa sepasang suami istri harus tinggal di sekitar kediaman kaum kerabat istri.
4.       Adat bilokal, yaitu adat yang menentukan bahwa sepasang suami istri dapat tinggal di sekitar pusat kediaman kerabat suami pada masa tertentu, dan di sekitar pusat kediaman kaum kerabat istri pada masa tertentu pula (bergantian).
5.       Adat neolokal, yaitu adat yang menentukan bahwa sepasang suami istri dapat menempati tempat yang baru, dalam arti kata tidak berkelompok bersama kaum kerabat suami maupun istri.
6.       Adat avunkulokal, yaitu adat yang mengharuskan sepasang suami istri untuk menetap di sekitar tempat kediaman saudara laki-laki ibu (avunculus) dari pihak suami.
7.       Adat natalokal, yaitu adat yang menentukan bahwa suami dan istri masing-masing hidup terpisah, dan masing-masing dari mereka juga tinggal di sekitar pusat kaum kerabatnya sendiri.
A.5.2 Berdasarkan pola otoritas
·         Patriarkal, yakni otoritas di dalam keluarga dimiliki oleh laki-laki (laki-laki tertua, umumnya ayah)
·         Matriarkal, yakni otoritas di dalam keluarga dimiliki oleh perempuan (perempuan tertua, umumnya ibu)
·         Equalitarian, yakni suami dan istri berbagi otoritas secara seimbang.
A.6 Subsistem sosial
   Terdapat tiga jenis subsistem dalam keluarga, yakni subsistem suami-istri, subsistem orang tua-anak, dan subsitem sibling (kakak-adik). Subsistem suami-istri terdiri dari seorang laki-laki dan perempuan yang hidup bersama dengan tujuan eksplisit dalam membangun keluarga. Pasangan ini menyediakan dukungan mutual satu dengan yang lain dan membangun sebuah ikatan yang melindungi subsistem tersebut dari gangguan yang ditimbulkan oleh kepentingan maupun kebutuhan darti subsistem-subsistem lain. Subsistem orang tua-anak terbentuk sejak kelahiran seorang anak dalam keluarga, subsistem ini meliputi transfer nilai dan pengetahuan dan pengenalan akan tanggungjawab terkait dengan relasi orang tua dan anak.
B. Pengertian Pendidikan
  
      Pendidikan dalam arti mikro ( sempit ) merupakan proses interaksi antara pendidik dan peserta didik baik di keluarga, sekolah maupun di masyarakat. Sedangkan pendidikan dalam arti makro ( luas ) adalah proses interaksi antara manusia sebagai individu / pribadi dan lingkungan alam semesta, lingkungan sosial, masyarakat, sosial-ekonomi, sosial-politik dan sosial-budaya.
Pendidikan juga dapat diartikan sebagai :
1.       Suatu proses pertumbuhan yang menyesuaikan dengan lingkungan 
2.       Suatu pengarahan dan bimbingan yang diberikan kepada anak dalam pertumbuhannya.
3.       Suatu usaha sadar untuk menciptakan suatu keadaan atau situasi tertentu yang dikehendaki oleh masyarakat.
4.       Suatu pembentukan kepribadian dan kemampuan anak menuju dewasa.
B.1 Ruang Lingkup Pendidikan
B.1.1. Pendidikan Informal
     Pendidikan informal adalah pendidikan yang di peroleh seseorang dirumah dalam lingkungan keluarga, berlangsung tanpa organisasi, tanpa orang tertentu yang di angkat sebagai pendidik tanpa program yang harus diselesaikan dalam jangka waktu tertentu dan tanpa evaluasi formal berbentuk ujian. Namun pendidikan Informal menentukan kepribadian anak, apakah anak akan menjadi anak yang bertanggung jawab,berbudi luhur, patuh akan peraturan, berpegang teguh pada janjinya atau sebaliknya.
B.1.2 Pendidikan Formal
   Pendidikan Formal adalah pendididkan yang mempunyai bentuk atau organisasi tertentu, seperti di Sekolah atau Universitas. Ini terlihat adanya penjenjangan, adanya program pembelajaran, jangka waktu proses belajar dan bagaimana proses penerimaan murid dan lain-lain.
    Pendidikan Non Formal meliputi berbagai usaha khusus yang di selenggarakan secara terorganisasi agar terutama generasi muda dan juga orang dewasa,yang tidak dapat sepenuhnya atau sama sekali tidak berkrsempatan mengikuti pendidikan sekolah. Pendidikan Non Formal meliputi kegiatan pengetahuan praktis dan ketrampilan dasar yang di perlukan masyarakat.
B.2 Fungsi Pendidikan
   Dalam arti sempit fungsi pendidikan ialah membantu (secara sadar) perkembangan jasmani dan rohani. Secara makro (luas) fungsi pendidikan adalah :
1.      Pengembangan pribadi
2.      Pengembangan warga negara
3.      Pengembangan kebudayaan
4.      Pengembangan bangsa
B.3 Faktor-Faktor Pendidikan
B.3.1 Faktor Tujuan
    Menurut Noeng Muhajir (1987 : 2-3) menyatakan bahwa tujuan pendidikan terdiri dari 3 buah yakni; (a) Tujuan yang bersifat sebagai alat seperti pandai bicara, membaca, berhitung dan sebagainya yang merupakan alat bagi tujuan yang lain yang lebih tinggi; (b) Tujuan yang bersifat instrinsik merupakan potensi yang berada di dalam diri peserta didik; (c) Tujuan nilai hidup meliputi budi pekerti, cinta tanah air dan sebagainya. Menurut Largeveld Tujuan dibedakan menjadi :
1.      Tujuan umum yaitu tujuan didalam pendidikan yang berakar dari tujuan hidup, berhubungan dengan pandangan hidup manusia didunia. 
2.      Tujuan tidak sempurna yaitu tujuan yang menyangkut segi-segi tertentu demi kepribadian manusia yaitu mengenai nilai-nilai hidup seperti kesusilaan, keagamaan, kemasyarakatan dan sebagainya.
3.      Tujuan sementara yaitu tujuan yang merupakan pemberhentian sementara untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi.
4.      Tujuan perantara yaitu tujuan yang ditentukan dalam rangka mencapai tujuan sementara.
5.      Tujuan Insidental yaitu tujuan yang hanya merupakan peristiwa-peristiwa yang terlepas saat demi saat dalam proses menuju pada tujuan umum.
B.3.2 Faktor Pendidik
 Pendidik dibedakan atas dua kategori yaitu :
a)      Pendidik menurut kodrat, yaitu orang tua, Orang tua menjadi pendidik bukan karena kemauan, melainkan karena memenuhi panggilan yang etis kodrati.
b)      Pendidik menurut jabatannya, yaitu guru, Guru sebagai pendidik menurut jabatan meneima tanggung jawab mendidik dari tiga pihak yaitu orang tua, masyarakat dan negara.
B.3.3 Faktor Peserta Didik
   Peserta didik dipandang sebagai organisme yang menerima informasi dan pengetahuandari berbagai sumber. Peserta didik dalam usia dan tingkat kelas yang sama bisa memiliki profil materi pengetahuan yang berbeda-beda. Ini tergantung pada konteks yang mendorong perkembangan seseorang. Ada 4 konteks yang mendorong perkembangan, yaitu :
a.       Lingkungan tempat peserta didik belajar secara aksidental dan insidental.
b.      Lingkungan belajar secara insidental
c.       Sekolah sebagai tempat yang terprogram
d.      Lingkungan pendidikan yang optimal
B.3.4 Faktor Isi / Materi Pendidikan
    Yang termasuk dalam isi / materi pendidikan ialah segala sesuatu yang oleh pendidik langsung diberikan kepada peserta didik dan diharapkan untuk dikuasai peserta didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Syarat utama dalam pemilihan bahan atau materi pendidikan adalah :
1.      Materi harus sesuai dengan tujuan pendidiakn
2.      Materi harus sesuai dengan peserta didik
B.3.5 Faktor Metode
   Agar proses pendidikan berlangsung secara edukatif dan efisien dalam upaya untuk mencapai tujuan pendidikan selain materi / bahan pendidikan yang tepat, juga perlu dipilih metode yang tepat. Metode adalah cara yang dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan. Untuk menentukan metode yang tepat harus adanya kriterium / patokan yang jelas. Patokan tersebut adalah faktor tujuan, peserta didik dan faktor situasi.
B.3.6 Faktor Situasi Lingkungan
   Situasi lingkungan mempengaruhi proses dan hasil pendidikan. Situasi lingkungan dapat menunjang dan menghambat proses belajar. Yang jelas bahwa antara situasi lingkungan dengan faktor tujuan, peserta didik, pendidik, bahan dan metode harus ada hubungan yang saling mempengaruhi dalam proses pendidikan.

C. Fungsi Keluarga
     Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari Ayah, ibu dan anak serta bebarapa orang lain yang masih terikat dalam hubungan darah dan saling ketergantungan atau membutuhkan satu sama lain. Setiap anggota keluarga mempunyai peranannya masing-masing. Ayah sebagai kepala keluarga berperan melindungi istri dan anak-anaknya. Seorang ayah juga berperan sebagai pengambil keputusan. Ibu sebagai istri berperan melindungi dan mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih saying. Dan anak hanya bertugas untuk berbakti kepada orangtua dan menjalankan segala petunjuk-petunjuk atau perintah yang telah diberikan orangtua agar bisa menjadi anak yang membanggakan.
   Ada beberapa fungsi yang dapat dijalankan setiap keluarga agar bisa terbentuk keluarga yang harmonis. Fungsi tersebut, diantaranya:
1.      Fungsi Pendidikan. Orangtua sebagai anggota keluarga berfungsi untuk mendidik anak-anak, dengan menyekolahkan mereka sampai ke jenjang yang tinggi. Selain pendidikan formal, keluarga juga bisa memberikan didikan informal diluar sekolah. Hal ini dilakukan Agar kelak mereka bisa menjadi anak-anak  yang berguna bagi keluarganya sendiri maupun bangsa dan Negara.
2.      Fungsi Religius. keluarga juga berfungsi memperkenalkan agama atau keyakinan kepada ana-anak sejak mereka masih kecil. Orangtua wajib menanamkan nilai-nilai agama kepada anak-anak mereka untuk bekal kehidupan setelah di dunia ini. Karena harus kita ingat bahwa tidak selamanya manusia hidup di dunia.
3.      Fungsi Ekonomi. Fungsi ekonomi ini harus dijalankan oleh kepala keluarga. Ayah sebagai kepala keluarga wajib untuk bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan rumah tangga. Namun, di zaman emansipasi wanita sekarang ini tidak jarang kita lihat ada ibu-ibu yang turut membantu memenuhi kebutuhan keluarga dengan bekerja sebagai wanita karier.
4.      Fungsi Sosialiasasi. Keluarga mempersiapakan anak untuk menjadi masyarakat yang baik. sebagai makhluk social, kita pasti saling membutuhkan satu individu dengan individu yang lain, oleh karena itu, keluarga mempersiapakan anak agar bisa bersosialisasi dengan lingkungan sekitar dengan cara menanamkan nilai-nilai moral yang baik dan memberikan contoh etika-etika yang baik dalam kehidupan bermasyarakat.
5.      Fungsi Perlindungan. Dalam hal ini setiap anggota keluarga wajib memberikan perlindungan kepada anggota keluarga yang lain. Agar mereka merasa aman, nyaman, dan terlindungi. Karena jika dalam keluarga sendiri saja mersa tidak aman, kemana lagi anggota keluarga mencari perlindungan.
6.      Fungsi Biologis. fungsi ini dijalankan untuk meneruskan keturunan. Agar tebentuk generasi penerus yang bisa mempertahankan nilai-nilai budaya yang ada dalam keluarga.
    Selain fungsi-fungsi yang saya sebutkan diatas, ada juga fungsi yang tak kalah pentingnya yaitu fungsi memberikan kasih sayang, perhatian, hiburan. Jika peran dan fungsi-fungsi ini dijalankan oleh setiap keluarga insya Allah akan terbentuk keluarga yang harmonis dan sejahterah. Dengan terbentuknya keluarga yang harmonis maka akan timbul kebahagiaan, sedangkan keluarga yang tidak harmonis akan menimbulkan banyak masalah-masalah. Oleh karena itu, marilah kita ciptakan keharmonisan di dalam lingkugan keluarga agar kehidupan ini dipenuhi kebahagiaan.

D. Pembentukan karakter anak-anaknya

D.1.  Pendahuluan

    Anak merupakan aset yang menentukan kelangsungan hidup, kualitas dan kejayaan suatu bangsa di masa mendatang. Oleh karena itu anak perlu dikondisikan agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal dan dididik sebaik mungkin agar di masa depan dapat menjadi generasi penerus yang berkarakter serta berkepribadian baik.

   Keluarga adalah lingkungan yang pertama dan utama dikenal oleh anak. Karenanya keluarga sering dikatakan sebagai primary group. Alasannya, institusi terkecil dalam masyarakat ini telah mempengaruhi perkembangan individu anggota-anggotanya, termasuk sang anak. Kelompok inilah yang melahirkan individu dengan berbagai bentuk kepribadiannya di masyarakat. Oleh karena itu tidaklah dapat dipungkiri bahwa sebenarnya keluarga mempunyai fungsi yang tidak hanya terbatas sebagai penerus keturunan saja. Mengingat banyak hal-hal mengenai kepribadian seseorang yang dapat dirunut dari keluarga (Mardiya,2000:10).
    Akibat pengaruh globalisasi yang makin menguat di setiap aspek kehidupan, banyak bangsa-bangsa di dunia yang tidak berkarakter kehilangan jati dirinya. Tanpa di sadari budaya telah mengalami pergeseran (akulturasi). Semula batas budaya barat dan timur terlihat jelas, namun sekarang ini yang terjadi budaya luar secara permisif berbaur dengan budaya lokal. Kondisi yang demikian menjadi berbahaya ttakala budaya buruk dari luar ditelan mentah-mentah oleh anak-anak dalam sebuah keluarga. Seperti budaya kekerasan, minum minuman keras, penyalahgunaan narkoba atau seks bebas. Disinilah peran orang tua ditantang untuk mampu mengembalikan karakter anak dalam kapasitas agar anak dapat tumbuh dan berkembang sebaik-baiknya.

D.2 Tumbuh Kembang Anak

      Sejak dilahirkan ke dunia setelah bersemayam dalam kandungan selama 9 bulan 10 hari, anak memliki ciri khusus yang membedakan dari orang dewasa, yakni terus tumbuh dan berkembang (Sunartini, 2001: 1). Tumbuh kembang anak sebenarnya sudah dimulai sejak pembuahan (konsepsi) sampai anak dewasa (kira-kira umur 21 tahun). Jadi tumbuh kembang ini merupakan suatu proses yang panjang dari satu sel menjadi berjuta sel manusia.
     Pertumbuhan dan perkembangan anak secara prinsip dapat dibagi dalam 4 periode, yaitu masa balita, pra sekolah, masa pertengahan kanak-kanak dan masa renaja. (Herini Sarminto, 2004: 1). Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita, karena pada masa ini terjadi pertumnuhan dan perkembangan dasar yang akan memperngaruhi perkembangan selanjutnya. Pertumbuhan anak ditunjukkan dengan bertambahnya tinggi dan berat badan, lingkar kepala, lingkar lengan atas, lingkar dada, dan sebagainya. Pertumbuhan anak ditunjukkan dengan faktor gizi dan nutrisi. Sementara perkembangan anak ditunjukkan dengan perkembangan psikomotor, perkembangan mental dan intelektual, perkembangan sosial, kemampuan komunikasi, perilaku dan perkembangan seksual. Perkembangan anak ini akan dipengaruhi oleh faktor bawaan dan lingkungan (Hibana S. Rahman, 2002 :37)

    Menurut Herini Sarminto (2004 : 2) faktor bawaan (genetik) merupakan faktor yang dibawa anak sejak lahir. Faktor bawaan ini merupakan modal dasar dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang anak. Potensi bawaan yang bermutu bila dapat berinteraksi dengan lingkungan secara positif akan diperoleh hasil akhir yang optimal. Sementara faktor lingkungan merupakan faktor diluar individu. Lingkungan ini merupakan lingkungan bio-fisika-psiko-sosial yang mempengaruhi individu setiap hari, mulai dari konsepsi sampai akhir hayatnya. Secara garis besar faktor lingkungan ini dibagi menjadi dua yaitu : (1) Lingkungan anak sebelum anak lahir, misalnya gizi ibu, obat-obatan, penyakit ibu, stress, posisi janin, gangguan hormon, radiasi, infeksi dan sebagainya; (2) Posisi setelah anak lahir, misalnya gizi anak, penyakit-penyakit, gangguan hormon, perumahan, kebersihan, stimulasi, stress, kasih sayang, stabilitas rumah tangga dan adat istiadat.
    Terkait dengan tumbuh kembang anak para ahli psikologi perkembangan sepakat bahwa usia balita adalah “The Golden Age” atau masa emas dalam tahap perkembangan hidup manusia. Dikatakan sebagai masa emas karena pada masa ini tidak kurang 100 milyar sel otak siap untuk distimulasi agar kecerdasan seseorang dapat berkembang secara optimal dikemudian hari. Dalam banyak penelitian menunjukkan kecerdsan anak usia 0-4 tahun terbangun 50% dari total kecerdasan yang akan dicapai pada usia 18 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa usia 4 tahun pertama adalah masa-masa paling menentukan dalam membangun kecerdasan anak dibanding masa-masa sesudahnya. Artinya bila pada usia tersebut tidak mendapat rangsangan yang maksimal maka potensi tumbuh kembang anak tidak akan teraktualisasikan secara optimal. Disamping itu bukan tidak mungkin bila pada masa ini anak tidak dapat mengalami gangguan perkembangan emosi, sosial, mental, intelektual dan moral sangat menentukan karakter cara bersikap dan pola perilakunya (Anik Rahmani Yudhastawa, 2005 : 10).

D.3. Hak Anak

    Membicarakan kelangsungan hidup dimuka bumi ini adalah membicarakan manusia, karena manusia merupakan makhluk paling dominan dalam kehidupan dan lebih khusus untuk kelangsungan hidup masa dengan tergantung pada anak sebagai generasi penerus. Anak merupakan bagian dari generasi muda, penerus cita-cita dan perjuangan bangsa. Disamping itu anak merupakan sumber daya manusia yang perlu mendapatkan perhatian dan perlindungan dari berbagai ancaman dan gangguan agar supaya hak-haknya tidak terabaikan.(Sri Sugiharti, 2005:1)

    Tentang apa saja hak anak, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan resolusi No. 44/25 tentang konvensi hak-hak anak (Convention on the Rights of the Child) tertanggal 20 November 1989. Konvensi ini telah diratifikasi Indonesia pada tanggal 25 Agustus 1990 dengan keputusan presiden nomor 36 tahun 1990. sekarang ini Indonesia sudah mempunyai UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yang didalamnya memuat 4 hak dasar anak yaitu:

  1. Hak untuk memperoleh keberlangsungan hidup
  2. Hak untuk tumbuh dan berkembang
  3. Hak untuk berpartisipasi
  4. Hak untuk memperoleh perlindungan

    Menurut Noor Siswanto (2002:5) secara lebih terinci ada sebelas hak yang dimiliki oleh anak antara lain : (1) hak untuk didaftar sejak kelahirannya, hak atas nama, memperoleh kewarganegaraan dan sejauh mungkin mengetahui dan dipelihara oleh orang tuanya ; (2) hak mempertahankan identitas ; (3) hak tidak dipisahkan dengan orang tua ; (4) hak berhubungan dengan orang tua ; (5) hak menyatakan pendapat, kemerdekaan berpikir, beragama ; (6) hak kemerdekaan berserikat dan berkumpul ; (7) hak memperoleh bantuan khusus dari negara bagi anak yang kehilangan lingkungan keluarga ; (8) hak menikmati norma kesehatan tertinggi dan hak memperoleh pendidikan ;(9) hak memperoleh pemeliharaan, perawatan serta perlindungan ; (10) hak untuk beristirahat, bersantai, bermain dan hak untuk turut serta dalam kegiatan rekreasi dan ; (11) hak untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi, eksploitasi seksual dan kegiatan yang bersifat pornografis serta pemakaian narkoba.

    Hak-hak anak tersebut perlu diwujudkan agar tumbuh kembang anak dapat berlangsung optimal. Dengan adannya hak-hak tersebut sudah barang tentu menjadi kewajiban keluarga, masyarakat dan bangsa (termasuk didalamnya institusi pendidikan) untuk memenuhinya. Keberhasilan bangsa ini dalam mencetak generasi yang berkwalitas menurut Sri Mirmaning Tyas (2005:10) sesungguhnya tidak dapat hanya disandarkan pada institusi pendidikan semata. Peran masyarakat luas, keluarga besar, pemerintah, swasta, dunia bisnis hingga orang tua sendiri perlu dimaksimalkan. Mendasarkan pada hak dasar anak maka hak yang paling sering diabaikan adalah hak partisipasi anak dalam menentukan arah perkembangan dirinya. Orang dewasa, guru, orang tua, pendidik seringh kali merasa lebih berhak menentukan apa yang terbaik bagi anak tanpa mempertimbangkan basis karakter anak. Sehingga yang terjadi kemudian amat banyak orang tua yang “Gagal” didik sejak kecil itu, melahirkan anak-anak yang “Gagal” seperti dirinya.

D.4. Membangun Karakter Anak

    Membangun karakter berarti mendidik. Untuk berpikir tentang pendidikan dapat kita mudahkan dengan membuat analogi sebagaimana seorang petani yang hendak bertanam di ladang. Anak yang akan dididik dapat diibaratkan sebagai tanah, isi pendidiklah sebagai bibit atau benih yang hendak ditaburkan, sedangkan pendidik diibaratkan sebagai petani. Untuk mendapatkan tanaman yang bagus, seorang petani harus jeli menentukan jenis dan kondisi lahan, kemudian menentukan jenis bibit yang tepat, serta cara yang tepat, setelah mempertimbangkan saat yang tepat pula untuk menaburkan bibit. Setelah selesai menabur, petani tidak boleh diam, tetapi harus memelihara, danmerawatnya jangan sampai kena hama pengganggu (SuharsimiArikunto2004:1).

     Membangun karakter anak, yang tidak lain adalah mendidik kejiwaan anak, tidak semudah dan sesederhana menanam bibit. Anak adalah aset keluarga, yang sekaligus aset bangsa. Membesarkan fisik anak, masih dapat dikatakan jauh lebih mudah dengan mendidik jiwa karena pertumbuhanya dapat dengan langsung diamati, sedangkan perkembangan jiwa hanya diamati melalui pantulannya.
      Menurut Oppenheim (dalam Suharsimi Arikunto, 2004 : 2) karakter atau watak seseorang dapat diamati dalam dua hal, yaitu sikap (attitude) dan perilaku (behavior). Jadi sikap sesorang termasuk anak-anak, tidak dapat diketahui apabila tidak ada rangsangan dari luar. Rangsangan itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor anatara lain cara menyampaikan, waktu terjadinya, pemberian rangsangan dan cara memberikan rangsangan. Dengan demikian maka pemebntukan sikap yang selanjutnya merupakan pembetuk karekter atau watak anak, juga sangat tergantung dari rangsangan pendidikan yang diberikan oleh pendidik.
     Banyaknya anak yang terlibat dalam tindak kenakalan nak baik berupa tindak kekerasan, penipuan, pemerkosaan/pelecehan seksual, pencurian, perampokan hingga pembunuhan serta tindakan/ perilaku yang negatif lainnya seperti mabuk-mabukan, merokok atau menyalahgunakan narkoba, merupakan salah satu bentuk gagalnya pendidikan terhadap anak.

    Era globalisasi memang telah mengubah segalanya. Beratnya persaingan hidup telah menyebabkan orang lupa memperhatikan kebutuhn anak karena sibuk mencari nafkah. Sementara perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah menyebabkan budaya luar baik atau buruk mengalir bagitu derasnya. Dampaknya bila tidak ada pengawasan dan bimbingan yang cukup buruk dari luar. Oleh karenanya, sejak dini pada anak perlu ditanamkan nailai-nilai moral sebagai pengatur sikap dan perilaku individu dalam melakukan interaksi sosial di lingkungan keluarga, masyarakat maupun bangsa (Gunarwan, 2005 : 10).
    Terdapat tiga teori perkembangan yang diyakini menentukan hasil jadi seorang anak. Pertama, teori tabula rasa, yakni teori yang menyatakan bahwa hasil jadi seorang anak sangat ditentukan seperti apa dia dididik. Teori ini mengibaratkan anak sebagai kertas putih yang kosong, tergantung siapa yang menulis dan melukisnya. Menulis dengan rapi atau dengan mencoret-coret bahkan diremas hingga kumal. Semua tergantung yang memegang kandali atas kertas putih tersebut. Kedua, teori genotype, yang menyatakan bahwa hasil akhir seorang anak sangat ditentukan oleh gen (sifat, karakter, biologis) orang tuanya. Pepatah sering mendukung teori ini dengan perumpamanaan : air hujan mengalir tak jauh dari atapnya. Sifat kareakter, hingga yang lebih ekstrim lagi nasib anak-anak dianggap tidak akan jauh dari situasi orang tuanya. Penganut paham ini sangat kenatar jika sampai pada keputusan menentukan jodoh anak-anaknya. Orang tuanya cocok, maka hubungan anaknya boleh berlanjut, namun jika tidak cocok maka biasanya orang tua tidak akan memberi restu hubungan anaknya. Ketiga, teori gabungan yang menggabungkan 2 karakter di atas di tambah denagn faktor mileu (lingkungan ).
     Teori ini banyak dipakai oleh para psikolog maupun pengembang pendidikan. Teori ini meyakini bahwa hasil akhir seorang anak ditentukan oleh tiga hal: faktor orang tua, faktor pendidkan dan faktor lingkungan. Banyak faktor lingkungan yakni dengan siapa dia bergaul, bergaul, pengaruh orang-orang dekat, paling diyakini sangat efektif mempengaruhi perkembangan anak Membangun karakter anak dengan demikian dibutuhkan upaya serius dari berbagai pihak terutama keluarga untuk mengkondidikan ketiga faktor di atas agar kondusif untuk tumbuh kembang anak. Pendidikan karakter pada anak harus siarahkan agar anak memiliki jiwa mandiri, bertanggung jawab dan mengenal sejak dini untuk dapat membedakan hal yang baik dan buruk, benar-salah, hak-batil, angkara murka-bijaksana, perilaku hewani dan manusiawi (Witono, 2005:1)

D.5 Peran Orang Tua

      Anak adalah individu yang unik. Banyak yang menagatkan bahwa anak adalah miniatur dari orang dewasa. Padahal mereka betulbetul unik. Mereka belum banyak memiliki sejarah masa lal. Pengalaman mereka sangat terbatas. Di sinilah peran orang tua yang memiliki pengalaman hidup lebih banyak sangat dibutuhkan membimbing dan mendidik anaknya. Apabila dikaitkan dengan hak-hak anak, menurut Sri Sugiharti (2005 :1) tugas dan tanggung jawab orang tua antara lain :
1.      Sejak dilahirkan mengasuh dengan kasih sayang.
2.      Memelihara kesehatan anak.
3.      Memberi alat-alat permainan dan kesempatan bermain.
4.      Menyekolahkan anak sesuia dengan keinginan anak.
5.      Memberikan pendidikan dalam keluarga, sopan santun, sosial, mental dan juga pendidikan keagamaan serta melindungi tindak kekerasan dari luar.
6.      Memberikan kesempatan anak untuk mengembangkan dan berpendapat sesuai dengan usia anak.
   
     Atas dasar itu orang tua yang bijaksana ankan mengajak anak sejak dini untuk berinteraksi denagn lingkungan sekitar. Saat itulah pendidikan karakter diberikan. Mengenal anak akan perbedaan di selilingnya dan diliatkan dalam tanggung jawab hidup sehari-hari, merupakan sarana anak untuk belajar menghargai perbedaan di sekelilingnya dan mengembangkan karakter di tengah berkembangnya masyarakat.      
     Pada tahap ini orang tua dapat mengajarkan niali-nilai universal seperti cara menghargai orang lain, berbuat adil pada diri sendiri dan orang lain, bersedia memanfaatkan orang lain.
     Bapak ibu sebagai orang tua anak, adalah contph keteladanan dan perilaku bagi anak. Oleh karena itu orang tua harus berperilaku baik, saling asih, asah dan asuh. Ibu yang secara emosional dan kejiwaan lebih dekat dengan anaknya harus mampu menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya baik dalam bertutur kata, bersikap maupun bertindak. Peran ibu dalam pembentukan karakter ini demikian besar, sehingga ada pepatah yang mengatakan bahwa “Wanita adalah tiang negara. Manakala wanitanya baik maka baiklah negara. Manakala wanitanya rusak, maka rusaklah’’negara”.

    Sementara itu sang bapak sebagai kepala keluarga juga harus mampu menajdi teladan yang baik. Karena ayah yang terlibat hubungan dengan anaknya sejak awal akan mempengaruhi perkembangan kognitif, motorik, kemampuan, menolong diri sendiri, bahkan meningkatkan kemampuan yang lebih baik dari anak lain. Kedekatan dengan ayah tentunya juga akan mempengaruhi pembentukan karakter anak. Begitu besarnya peran orang tua dalam pembentukan karakter dan tumbuh kembang anak, sudah sewajarnya apabila orang tua perlu menerapkan pola asuh yang seimbang (authoritative) pada anak, bukan pola asuh yang otoriter atau serba membolehkan(permissive).

      Pola asuh yang seimbang (authoritative) akan selalu menghargai individualitas akan tetapi juga menekankan perlunya aturan dan pengaturan. Mereka dangat percaya diri dalam melakukan pengasuhan tetapi meraka sepenuhnya mengahrgai keputusan yang diambil anak, minat dan pendapat serta perbedaan kepribadiannya. Orang tua dengan pola asuh model ini, penuh dengan cinta kasih, mudah memerinci tetapi menuntut tingkah laku yang baik. Tegas dalam menjaga aturan bersedia memberi hukuman ringan tetapi dalam situasi hangat dan hubungan saling mendukung. Mereka menjelaskan semua tindakan dan hukuman yang mereka lakukan dan minta pendapat anak.
    Anak dari orang tua yang demikian akan merasa tenang dan nyaman. Mereka akan menajdi paham kalau mereka disayangi tetapi sekaligus mengerti terhadap apa yang diharapkan dari orang tua. Jadi anak sejak pra sekolah akan menunjukkan sikap lebih mandiri, mampu mengontrol dirinya, biasa bersikap tegas dan suka eksplorasi.

    Kondisi yeng demikian itu tidak akan didapatkan anak bila orang tuanya menerapkan pola asuh otoriter atau permisif.  Karena anak-anak di bawah asuhan otoriter akan menjadi pendiam, Penakut dan tidak percaya pada diri mereka sendiri. Sementara anak-anak yang diasuh dengan model permisif akan menajdi anak yang tidak mengenal aturan dan norma serta idak memiliki rasa tanggung jawab.
      
      Dengan berkaca pada kondisi saat ini, sudah saatnya orang tua sekarang mengambil peran lebih untuk mengembangkan karakter dan memberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang secara optimal agar anak menjadi manusia berkualitas.

E. Peran keluarga dalam memfasilitasi anggota keluarga untuk  menjadi makhluk individu dan makhluk sosial sesuai norma-norma masyarakat yang berlaku.
     
        Peran orang tua sangat lah pentinng dalam membentuk kepribadian seorang anak, karena dari didikan orangtua lah yang membuat kita bisa menjadi seperti ini. Orang tua juga sangatlah penting dalam membentuk pondasi dari kepribadian seorang anak, saya sebagai seorang anak pun sangatlah merasakan peranan dari orang tuadalam membentuk kepribadian diri saya, apa saja yang saya lakukan baik sikap maupun kepribadian saya, sedikit banyak mengikuti sifat dari orangtua saya, terutama hal yang sangat mereka tekankanpada saya, sejak saya kecil hingga sekarang ini.
    Sejak kecil, orang tua saya sudah menanamkan nilai-nilai moral, keagamaan, tata krama, sopan santun, dan lain-lain. Di dalam materi kali ini saya akan menceritakan beberapa hal  peranan orang tua yang saya rasakan selama ini.
    Peran orangtua untuk mengajarkan keagamaan, mungkin inilah yang sangat penting yang di tekankan oleh orang tua saya, karena kedua orang tua saya penganut agama islam, jadi erat bersandar pada al-quran dan sunnah rasulullah. Segala sesuatu yang saya lakukan selalu di ingatkan orang tua saya agar tidak melenceng dari isi al-quran sebagai pedoman hidup saya, dan segala sesuatu yang saya lakukan selalu di ajarkan untuk meniru sikap dan sifat rasulullah saw, karena orang tua saya beranggapan bahwa sebagai seorang muslimin dan mukminin, bukan hanya menjalankan kewajiban saya sebagai seorang mukmin dan muslimin,dan menjauhi segala larangan Allah SWT.
     Tapi lebih dari itu, bagi  orangtua saya, saya harus meneladani dan mengikuti apa yang di ajarkan rasulullah, karena rasulullah merupakan contoh tauladan bagi para umatnya. Dan saya yakin apabila saya meneladani dan mengamalkan sikap dan sifat rasulullah, baik dalam beribadah maupun dalam melakukan aktifitas sehari-hari, mungkin kita semua akan menjadi pribadi yang sidik, amanah, tabligh, dan fatonah apa bila hidup kita dilandasi dengan agama dan meneladani rasululah. Dan mungkin generasi bangsai ini akan menjadi generasi bangsa yang sangat baik, dan apabila sikap dan contoh dari rasululah di jadikan pondasi dalam hidup seseorang mungkin tidak ada lagi korupsi, pencurian dan pembunuhan di negeri ini, dan saya yakin negeri ini akan menjadi negeri yang sangat damai.

      Peran orang tua pun saya rasakan sewaktu orang tua saya mengajarkan tata cara bersosialisasi, baik dalam bergaul terhadap sesama, dengan yang lebih muda, maupun dengan yang lebih tua, mereka pun mengajarkanbagaimana sikap dan perbuatan kita terhadap sebaya, atau yang lebih muda maupun yang lebih tua. Dan hal tersebut menjadi suatu bekal bagi saya dalam bersosialisasi di masyarakat.
      Orang tua saya pun mengajarkan kepada saya untuk selalu hemat dan tidak menghambur-hamburkan sesuatu, baik dalam bentuk uang, energi, barang, sumber daya alam, maupun yang lainnya, karena itu adalah sifat setan. hal tersebut sangat lah bermanfaat bagi saya, dan saya selalu ingat untuk tidak menghampur-hamburkan atau pun hura-hura, dan saya juga di ajarkan untuk berbagi kepada orang yang membutuhkan, karena rasulullah pun mengajarkan hal tersebut,
      Kesimpulan yang bisa saya ambil dari materi kali ini adalah, seseorang memiliki sifat dan karakter berdasarkan didikannya dan pondasi yang di derikan oleh orang tuanya masing-masing. Dan tergantung bagai mana cara orang tua mereka mengarahkan anaknya. Dan agar generasi penerus bangsa ini, menjadi lebih baik, harus di mulai dari orangtua yang cerdas, dan memiliki pengetahuan yang luas, memiliki nilai moral, dan senantiasa selalu berpedoman kepada al-quran dan sunnah rasulullah. Sehingga generasi yang akan datang menjadi generasi yang dapat memimpin negeri ini dengan baik.

F. Keambisian Orang Tua Anak Menjadi Korban
   Beberapa keambisian orang tua terhadap anakanya meliputi yaitu:
F.1 Kekerasan Terhadap Anak 
     Kekerasan terhadapa anak adalah tindak kekerasan secara fisik, seksual, penganiyaan emosional, atau pengabaian terhadap anak. Di Amerika SerikatPusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) mendefinisikan penganiayaan anak sebagai setiap tindakan atau serangkaian tindakan wali atau kelalaian oleh orang tua atau pengasuh lainnya yang dihasilkan dapat membahayakan, atau berpotensi bahaya, atau memberikan ancaman yang berbahaya kepada anak. Sebagian besar terjadi kekerasan terhadap anak di rumah anak itu sendiri dengan jumlah yang lebih kecil terjadi di sekolah, di lingkungan atau organisasi tempat anak berinteraksi. Ada empat kategori utama tindak kekerasan terhadap anak: pengabaiankekerasan fisikpelecehan emosional/psikologis, dan pelecehan seksual anak.
     Yurisdiksi yang berbeda telah mengembangkan definisi mereka sendiri tentang apa yang merupakan pelecehan anak untuk tujuan melepaskan anak dari keluarganya dan/atau penuntutan terhadap suatu tuntutan pidana. Menurut Journal of Child Abuse and Neglect, penganiayaan terhadap anak adalah "setiap tindakan terbaru atau kegagalan untuk bertindak pada bagian dari orang tua atau pengasuh yang menyebabkan kematian, kerusakan fisik serius atau emosional yang membahayakan, pelecehan seksual atau eksploitasi, tindakan atau kegagalan tindakan yang menyajikan risiko besar akan bahaya yang serius". Seseorang yang merasa perlu untuk melakukan kekerasan terhadap anak atau mengabaikan anak sekarang mungkin dapat digambarkan sebagai "pedopath".
F.2 Tipe
     Kekerasan terhadap anak dapat mengambil beberapa bentuk: Empat jenis utama adalah kekerasan secara fisik, seksual, psikologis, dan penelantaran.
F.3 Penelantaran
    Penelantaran anak adalah di mana orang dewasa yang bertanggung jawab gagal untuk menyediakan kebutuhan memadai untuk berbagai keperluan, termasuk fisik (kegagalan untuk menyediakan makanan yang cukup, pakaian, atau kebersihan), emosional (kegagalan untuk memberikan pengasuhan atau kasih sayang), pendidikan (kegagalan untuk mendaftarkan anak di sekolah) , atau medis (kegagalan untuk mengobati anak atau membawa anak ke dokter).
F.4 Kekerasan fisik
    Kekerasan fisik adalah agresi fisik diarahkan pada seorang anak oleh orang dewasa. Hal ini dapat melibatkan meninju, memukul, menendang, mendorong, menampar, membakar, membuat memar, menarik telinga atau rambut, menusuk, membuat tersedak atau menguncang seorang anak.
    Guncangan terhadap seorang anak dapat menyebabkan sindrom guncangan bayiyang dapat mengakibatkan tekanan intrakranial, pembengkakan otak, cedera difus aksonal, dan kekurangan oksigen yang mengarah ke pola seperti gagal tumbuh, muntah, lesu, kejang, pembengkakan atau penegangan ubun-ubun, perubahan pada pernapasan, dan pupil melebar. Transmisi racun pada anak melalui ibunya (seperti dengan sindrom alkohol janin) juga dapat dianggap penganiayaan fisik dalam beberapa wilayah yurisdiksi.
     Sebagian besar negara dengan hukum kekerasan terhadap anak mempertimbangkan penderitaan dari luka fisik atau tindakan yang menempatkan anak dalam risiko yang jelas dari cedera serius atau kematian tidak sah. Di luar ini, ada cukup banyak variasi. Perbedaan antara disiplin anak dan tindak kekerasan sering kurang didefinisikan. Budaya norma tentang apa yang merupakan tindak kekerasan sangat bervariasi: kalangan profesional serta masyarakat yang lebih luas tidak setuju pada apa yang disebut merupakan perilaku kekerasan.
     Beberapa profesional yang bertugas di bidang manusia mengklaim bahwa norma-norma budaya yang berhubungan dengan sanksi hukuman fisik adalah salah satu penyebab kekerasan terhadap anak dan mereka telah melakukan kampanye untuk mendefinisikan kembali norma-norma tersebut.
    Penggunaan tindak kekerasan apapun terhadap anak-anak sebagai tindakan disiplin adalah ilegal di 24 negara di seluruh dunia, akan tetapi lazim dan diterima secara sosial di banyak negara lainnya. Lihat hukuman di rumah untuk informasi lebih lanjut.
F.5 Pelecehan seksual anak
     Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang dewasa atau pelanggaran yang dilakukan oleh remaja yang lebih tua terhadap seorang anak untuk mendapatkan stimulasi seksual. Bentuk pelecehan seksual anak termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual (terlepas dari hasilnya), paparan senonoh dari alat kelamin kepada anak, menampilkan pornografi kepada anak, kontak seksual yang sebenarnya terhadap anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak, melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik, atau menggunakan anak untuk memproduksi pornografi anak.
    Pengaruh pelecehan seksual anak termasuk rasa bersalah dan menyalahkan diri, kenangan buruk, mimpi burukinsomnia, takut hal yang berhubungan dengan pelecehan (termasuk benda, bau, tempat, kunjungan dokter, dll), masalah harga diri,disfungsi seksual, sakit kronis , kecanduan, melukai diri sendiri, keinginan bunuh diri, keluhan somatik, depresi, gangguan stres pasca traumakecemasan, penyakit mental lainnya (termasuk gangguan kepribadian). dan gangguan identitas disosiatif, kecenderungan untuk mengulangi tindakan kekerasan setelah dewasa, bulimia nervosa, cedera fisik pada anak di antara masalah-masalah lainnya. Sekitar 15% sampai 25% wanita dan 5% sampai 15% pria yang mengalami pelecehan seksual ketika mereka masih anak-anak. Kebanyakan pelaku pelecehan seksual adalah orang yang kenal dengan korban mereka; sekitar 30% adalah keluarga dari anak, paling sering adalah saudara, ayah, ibu, paman atau sepupu, sekitar 60% adalah kenalan teman lain seperti keluarga, pengasuh anak, atau tetangga; orang asing adalah yang melakukan pelanggar hanya sekitar 10% dari kasus pelecehan seksual anak.
F.6 Kekerasan emosional/Psikologis
     Dari semua kemungkinan bentuk pelecehan, pelecehan emosional adalah yang paling sulit untuk didefinisikan. Itu bisa termasuk nama panggilan, ejekan, degradasi, perusakan harta benda, penyiksaan atau perusakan terhadap hewan peliharaan, kritik yang berlebihan, tuntutan yang tidak pantas atau berlebihan, pemutusan komunikasi, dan pelabelan sehari-hari atau penghinaan.
    Korban kekerasan emosional dapat bereaksi dengan menjauhkan diri dari pelaku, internalisasi kata-kata kasar atau dengan menghina kembali pelaku penghinaan. Kekerasan emosional dapat mengakibatkan gangguan kasih sayang yang abnormal atau terganggu, kecenderungan korban menyalahkan diri sendiri (menyalahkan diri sendiri) untuk pelecehan tersebut, belajar untuk tak berdaya, dan terlalu bersikap pasif.
     Menurut Komite Nasional (Amerika) untuk Tindak Pencegahan Kekerasan pada Anak, pada tahun 1997 pengabaian mewakili 54% kasus kekerasan terhadap anak yang terkonfirmasi, kekerasan fisik 22%, pelecehan seksual 8%, kekerasan emosional 4% dan bentuk kekerasan lainnya sebesar 12%.
F.6 Kematian
    Sebuah kematian akibat kekerasan terhadap anak adalah ketika kematian anak adalah hasil dari kekerasan atau kelalaian, atau bila kekerasan dan/atau pengabaian menjadi faktor yang berkontribusi untuk kematian anak.
F.7 Penyebab
     Kekerasan pada anak merupakan fenomena yang kompleks dengan penyebab yang bermacam-macam. Memahami penyebab kekerasan sangat penting untuk mengatasi masalah kekerasan terhadap anak.
F.8 Efek
    Ada asosiasi kuat antara paparan penganiayaan anak-anak dalam segala bentuk dan tingkat yang lebih tinggi dari kondisi kronis.
F.8.1 Efek pada fisik
    Anak-anak yang secara fisik pelecehan cenderung menerima patah tulang terutama patah tulang rusuk dan mungkin memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker.
F.9 Pencegahan
     April telah ditetapkan sebagai bulan Pencegahan Tindak Kekerasan Terhadap Anak di Amerika Serikat sejak tahun 1983. Presiden AS Barack Obama melanjutkan tradisi yang dengan menyatakan bulan April 2009 sebagai Bulan Pencegahan Kekerasan terhadap Anak. Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah Federal Amerika Serikat dengan menyediakan dana untuk mencegah tindak kekerasan terhadap anak adalah melalui Dana Hibah Berbasis Masyarakat untuk Pencegahan Pelecehan dan Pengabaian terhadap Anak (CBCAP).
G. Faktor penyebab sehingga seseorang tidak bergairah belajar


   
     
      Kualitas pembelajaran dan prestasi belajar di Indonesia sampai saat ini masih belum mengalami perubahan yang menggembirakan. Secara umum prestasi belajar siswa/mahasiswa di Indonesia lebih rendah. Terbukti dari sebagian besar siswa yang tidak lulus Ujian disebabkan tidak dapat memenuhi batas minimal kelulusan yang ditargetkan.
     Prestasi belajar  masih relatif rendah. Hal ini ditunjukkan dari perolehan nilai rata-rata Ujian Akhir Nasional pada lima tahun terakhir yang tergolong rendah. Rendahnya prestasi belajar disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya dalam lingkungan pendidkan sekolah atau perguruan tinggi antara lain adalah factor guru/dosen, siswa/mahasiswa, dan proses belajar mengajar.
     Dari hasil observasi langsung pada proses belajar dan hasil wawancara menyatakan bahwa sebagian siswa dapat disimpulkan bahwa akar masalahnya adalah pada faktor proses pembelajaran, yaitu : 1) rendahnya pemberdayaan aktivitas siswa/mahasiswa dalam proses pembelajaran, sehingga aktivitas siswa/mahasiswa sebagian besar hanya mendengar, menulis (mencatat) penjelasan guru/dosen, dan latihan soal yang diberikan oleh guru/dosen, 2) kurangnya pemotivasian siswa untuk ikut aktif dalam pengolahan pesan pelajaran, sehingga banyak siswa/mahasiswa yang kurang peduli, masa bodoh, kurang percaya diri, dan kurang bergairah dalam belajar.
     Bertitik tolak dari latar belakang, rumusan masalah dan faktor penyebabnya peneliti menyimpulkan bahwa rendahnya prestasi atau kurang bergairah dalam belajar belajar terletak pada 1) rendahnya pemberdayaan peran aktif siswa/mahasiswa dalam proses pembelajaran, dan 2) kurangnya pemotivasian siswa/mahasiswa untuk ikut aktif dalam pengolahan pesan pelajaran. Oleh karena itu pengubahan desain dan strategi pembelajaran yang dapat mendorong aktivitas dan motivasi belajar siswa/mahasiswa sangat diperlukan. Desain dan strategi pembelajaran yang diterapkan yaitu dengan pembelajaran, Kooperatif tipe TPS, dengan desain dan strategi pembelajaran tersebut diharapkan dapat meningkatkan aktivitas dan motivasi belajar siswa/mahasiswa yang muaranya adalah meningkatnya prestasi belajar atau gairah dalam belajar siswa/mahasiswa. Argumennya adalah karena pembelajaran kooperatif TPS menuntut siswa/mahasiswa untuk mampu melakukan kegiatan memecahkan masalah secara mandiri, bekerja sama memecahkan masalah dengan pasangan/kelompoknya, mampu untuk berbagi hasil pemecahannya kepada kelas, saling bertukar gagasan secara klasikal, memberi kesempatan kepada siswa/mahasiswa untuk menerapkan pengalamannya, pengetahuannnya, konsep, dan prinsip yang telah dimilikinya, mengembangkan kemampuan siswa/mahasiswa untuk berpikir kritis dan kreatif, sikap demokratis dan terbuka, menggunakan dan mengembangkan idenya, memanfaatkan berbagai sumber belajar, sehingga terdorong untuk menggali informasi, pustaka maupun sumber lainnya dalam rangka perumusan dan pemecahan masalah (memberdayakan aktivitasnya) sehingga memungkinkan untuk menemukan pesan-pesan pelajaran yang diinginkan.
     Dalam pembelajarn kooperatif TPS secara langsung belajar mengevaluasi logika dirinya dan posisinya terhadap orang lain, hal ini dapat mengembangkan motivasi untuk belajar yang lebih lanjut. Penghargaan setiap pencapaian yang baik kepada individu maupun kelompok akan menimbulkan kepuasan tersendiri dalam diri siswa yang bermuara pada peningkatan motivas atau gairah dalam belajar. Dengan demikian diharapkan bahwa pembelajaran kooperatif TPS dapat meningkatkan aktivitas dan motivasi belajar.
     Apabila aktivitas dan motivasi belajar meningkat diharapkan prestasi belajar atau gairah dalam  juga meningkat. Indikator keberhasilan tindakan (action) dan metode pengukurannya adalah sebagai berikut :
  Tabel 1.1. Indikator Keberhasilan Tindakan (Action) dan Metode
Pengukurannya
No
Indikator
Metode
Pengukuran dan Evaluasi
1.
Indikator proses.
Aktivitas siswa dalam
KBM.
a.Indikator diukur dari keadaan awal, yaitu
rendahnya aktivitas siswa dalam KBM
(aktivitas siswa dalam KBM didominasi
dengan kegiatan mendengar dan mencatat
pelajaran)
b.Aktivitas siswa diukur dari intensitas
keterlibatan siswa dalam pengolahan pesan
pelajaran yang ditandai dengan meningkatnya
kegiatan mengerjakan LKS, berdiskusi,
mengajukan pertanya-an, menyampaikan
pendapat/ gagasan, menyimpulkan dan
mengkomunikasikan pesan pelajaran baik
dalam kelompok kecil maupun dalam kelas.
c.Pengukuran dilakukan oleh pengamat melalui
lembar observasi.
2.
Motivasi belajar siswa

a. Dorongan ingin tahu
(sikap antusiasme/penuh
perhatian, kesungguhan,
keuletan, suka bertanya,
suka berlatih)
b. Dorongan pemenuhan
kepuasan (gairah bela-jar,
tidak mudah jenuh, rasa
senang/ceria, ingin
mengulangi perbuatan)
c. Dorongan percaya diri
(keberanian, optimis-me,
kesiapan)
a.Indikator diukur dari motivasi awal, yaitu
rendahnya motivasi siswa dalam pembelajaran
yang ditandai dengan :
1) Rendahnya dorongan ingin tahu
2) Rendahnya dorongan pemenuhan
Kepuasan
3) Rendahnya dorongan percaya diri
4) Rendahnya dorongan untuk mencapai hasil.
b.Motivasi diukur dari persentase banyaknya
siswa yang terdorong untuk memperhatikan,
bertanya, berlatih, bergairah, berani menjawab
pertanyaan, banyak ide/gagasan, percaya diri,
berpikir dan bekerjasama., komunikatif,
c.Pengukuran dilakukan oleh tim peneliti
5
d. Dorongan untuk mencapai
hasil (kerjasama,
kreatif/banyak ide, dan
komunikatif)
melalui angket yang diberikan pada akhir
siklus.terkhir.
3.
Indikator produk

Nilai ulangan harian
(postest)
a. Setiap akhir siklus diberikan ulangan
harian (postes)
b. Hasil olahan ulangan harian dikon-sultasikan
dengan kriteria ketuntasan individu dan ketuntasan kelas.









H. Kesalahan orang tua  dalam Mendidik Anak
     Anak adalah amanah bagi kedua orang tuanya. Maka, kita sebagai orang tua bertanggung jawab terhadap amanah ini. Tidak sedikit kesalahan dan kelalaian dalam mendidik anak telah menjadi fenomena yang nyata. Sungguh merupakan malapetaka besar ; dan termasuk menghianati amanah Allah. Adapun rumah, adalah sekolah pertama bagi anak. Kumpulan dari beberapa rumah itu akan membentuk sebuah bangunan masyarakat. Bagi seorang anak, sebelum mendapatkan pendidikan di sekolah dan masyarakat, ia akan mendapatkan pendidikan di rumah dan keluarganya. Ia merupakan prototype kedua orang tuanya dalam berinteraksi sosial. Oleh karena itu, disinilah peran dan tanggung jawab orang tua, dituntut untuk tidak lalai dalam mendidik anak-anak.
H.1 Bahaya Lalai Dalam Mendidik Anak         
    Orang tua memiliki hak yang wajib dilaksanakan oleh anak-anaknya. Demikian pula anak, juga mempunyai hak yang wajib dipikul oleh kedua orang tuanya. Disamping Allah memerintahkan kita untuk berbakti kepada kedua orang tua. Allah juga memerintahkan kita untuk berbuat baik (ihsan) kepada anak-anak serta bersungguh-sungguh dalam mendidiknya. Demikian ini termasuk bagian dari menunaikan amanah Allah. Sebaliknya, melalaikan hak-hak mereka termasuk perbuatan khianat terhadap amanah Allah. Banyak nash-nash syar’i yang mengisyaratkannya. Allah berfirman.
  “Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya” [An-Nisa : 58] 
   “Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhamamd) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” [Al-Anfal : 27] 
    Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. 
“Artinya : Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban terhadap yang dipimpin. Maka, seorang imam adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin bagi keluarganya dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]
    “Artinya : Barangsiapa diberi amanah oleh Allah untuk memimpin lalu ia mati (sedangkan pada) hari kematiannya dalam keadaan mengkhianati amanahnya itu, niscaya Allah mengharamkan sorga bagianya” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]
H.2 Beberapa kesalahan orang tua dalam mendidik anak
     Meskipun banyak orang tua yang mengetahui, bahwa mendidik anak merupakan tanggung jawab yang besar, tetapi masih banyak orang tua yang lalai dan menganggap remeh masalah ini. Sehingga mengabaikan masalah pendidikan anak ini, sedikitpun tidak menaruh perhatian terhadap perkembangan anak-anaknya.
     Baru kemudian, ketika anak-anak berbuat durhaka, melawan orang tua, atau menyimpang dari aturan agama dan tatanan sosial, banyak orang tua mulai kebakaran jenggot atau justru menyalahkan anaknya. Tragisnya, banyak yang tidak sadar, bahwa sebenarnya orang tuanyalah yang menjadi penyebab utama munculnya sikap durhaka itu.
     Lalai atau salah dalam mendidik anak itu bermacam-macam bentuknya ; yang tanpa kita sadari memberi andil munculnya sikap durhaka kepada orang tua, maupun kenakalan remaja.
   Berikut ini sepuluh bentuk kesalahan yang sering dilakukan oleh orang tua dalam mendidik anak-anaknya yaitu: 
1.      . Menumbuhkan Rasa Takut Dan Minder Pada Anak. Kadang, ketika anak menangis, kita menakut-nakuti mereka agar berhenti menangis. Kita takuti mereka dengan gambaran hantu, jin, suara angin dan lain-lain. Dampaknya, anak akan tumbuh menjadi seorang penakut : Takut pada bayangannya sendiri, takut pada sesuatu yang sebenarnya tidak perlu ditakuti. Misalnya takut ke kamar mandi sendiri, takut tidur sendiri karena seringnya mendengar cerita-cerita tentang hantu, jin dan lain-lain. Dan yang paling parah tanpa disadari, kita telah menanamkan rasa takut kepada dirinya sendiri. Atau misalnya, kita khawatir ketika mereka jatuh dan ada darah di wajahnya, tangan atau lututnya. Padahal semestinya, kita bersikap tenang dan menampakkan senyuman menghadapi ketakutan anak tersebut. Bukannya justru menakut-nakutinya, menampar wajahnya, atau memarahinya serta membesar-besarkan masalah. Akibatnya, anak-anak semakin keras tangisnya, dan akan terbiasa menjadi takut apabila melihat darah atau merasa sakit.
2.      Mendidiknya Menjadi Sombong, Panjang Lidah, Congkak Terhadap Orang Lain. Dan Itu Dianggap Sebagai Sikap Pemberani. Kesalahan ini merupakan kebalikan point pertama. Yang benar ialah bersikap tengah-tengah, tidak berlebihan dan tidak dikurang-kurangi. Berani tidak harus dengan bersikap sombong atau congkak kepada orang lain. Tetapi, sikap berani yang selaras tempatnya dan rasa takut apabila memang sesuatu itu harus ditakuti. Misalnya : takut berbohong, karena ia tahu, jika Allah tidak suka kepada anak yang suka berbohong, atau rasa takut kepada binatang buas yang membahayakan. Kita didik anak kita untuk berani dan tidak takut dalam mengamalkan kebenaran. 
3.      Membiasakan Anak-Anak Hidup Berfoya-foya, Bermewah-mewah Dan Sombong.  Dengan kebiasaan ini, sang anak bisa tumbuh menjadi anak yang suka kemewahan, suka bersenang-senang. Hanya mementingkan dirinya sendiri, tidak peduli terhadap keadaan orang lain. Mendidik anak seperti ini dapat merusak fitrah, membunuh sikap istiqomah dalam bersikap zuhud di dunia, membinasakah muru’ah (harga diri) dan kebenaran. 
4.      Selalu Memenuhi Permintaan Anak.  Sebagian orang tua ada yang selalu memberi setiap yang diinginkan anaknya, tanpa memikirkan baik dan buruknya bagi anak. Padahal, tidak setiap yang diinginkan anaknya itu bermanfaat atau sesuai dengan usia dan kebutuhannya. Misalnya si anak minta tas baru yang sedang trend, padahal baru sebulan yang lalu orang tua membelikannya tas baru. Hal ini hanya akan menghambur-hamburkan uang. Kalau anak terbiasa terpenuhi segala permintaanya, maka mereka akan tumbuh menjadi anak yang tidak peduli pada nilai uang dan beratnya mencari nafkah. Serta mereka akan menjadi orang yang tidak bisa membelanjakan uangnya dengan baik. 
5.      Selalu Memenuhi Permintaan Anak. Ketika Menangis, Terutama Anak Yang Masih Kecil. Sering terjadi, anak kita yang masih kecil minta sesuatu. Jika kita menolaknya karena suatu alasan, ia akan memaksa atau mengeluarkan senjatanya, yaitu menangis. Akhirnya, orang tua akan segera memenuhi permintaannya karena kasihan atau agar anak segera berhenti menangis. Hal ini dapat menyebabkan sang anak menjadi lemah, cengeng dan tidak punya jati diri. 
6.      Terlalu Keras Dan Kaku Dalam Menghadapi Mereka, Melebihi Batas Kewajaran. Misalnya dengan memukul mereka hingga memar, memarahinya dengan bentakan dan cacian, ataupun dengan cara-cara keras lainnya. Ini kadang terjadi ketika sang anak sengaja berbuat salah. Padahal ia (mungkin) baru sekali melakukannya. 
7.      Terlalu Pelit Pada Anak-Anak, Melebihi Batas Kewajaran . Ada juga orang tua yang terlalu pelit kepada anak-anaknya, hingga anak-anaknya merasa kurang terpenuhi kebutuhannya. Pada akhirnya mendorong anak-anak itu untuk mencari uang sendiri dengan bebagai cara. Misalnya : dengan mencuri, meminta-minta pada orang lain, atau dengan cara lain. Yang lebih parah lagi, ada orang tua yang tega menitipkan anaknya ke panti asuhan untuk mengurangi beban dirinya. Bahkan, ada pula yang tega menjual anaknya, karena merasa tidak mampu membiayai hidup. Naa’udzubillah mindzalik 
8.      Tidak Mengasihi Dan Menyayangi Mereka, Sehingga Membuat Mereka Mencari Kasih Sayang Diluar Rumah Hingga Menemukan Yang Dicarinya. Fenomena demikian ini banyak terjadi. Telah menyebabkan anak-anak terjerumus ke dalam pergaulan bebas –waiyadzubillah-. Seorang anak perempuan misalnya, karena tidak mendapat perhatian dari keluarganya ia mencari perhatian dari laki-laki di luar lingkungan keluarganya. Dia merasa senang mendapatkan perhatian dari laki-laki itu, karena sering memujinya, merayu dan sebagainya. Hingga ia rela menyerahkan kehormatannya demi cinta semu. 
9.      Hanya Memperhatikan Kebutuhan Jasmaninya Saja. Banyak orang tua yang mengira, bahwa mereka telah memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Banyak orang tua merasa telah memberikan pendidikan yang baik, makanan dan minuman yang bergizi, pakaian yang bagus dan sekolah yang berkualitas. Sementara itu, tidak ada upaya untuk mendidik anak-anaknya agar beragama secara benar serta berakhlak mulia. Orang tua lupa, bahwa anak tidak cukup hanya diberi materi saja. Anak-anak juga membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Bila kasih sayang tidak di dapatkan dirumahnya, maka ia akan mencarinya dari orang lain.
10.  Terlalu Berprasangka Baik Kepada Anak-Anaknya. Ada sebagian orang tua yang selalu berprasangka baik kepada anak-anaknya. Menyangka, bila anak-anaknya baik-baik saja dan merasa tidak perlu ada yang dikhawatirkan, tidak pernah mengecek keadaan anak-anaknya, tidak mengenal teman dekat anaknya, atau apa saja aktifitasnya. Sangat percaya kepada anak-anaknya. Ketika tiba-tiba, mendapati anaknya terkena musibah atau gejala menyimpang, misalnya terkena narkoba, barulah orang tua tersentak kaget. Berusaha menutup-nutupinya serta segera memaafkannya. Akhirnya yang tersisa hanyalan penyesalan tak berguna. 
     Demikianlah sepuluh kesalahan yang sering dilakukan orang tua. Yang mungkin kita juga tidak menyadari bila telah melakukannya. Untuk itu, marilah berusaha untuk terus menerus mencari ilmu, terutama berkaitan dengan pendidikan anak, agar kita terhindar dari kesalahan-kesalahan dalam mendidik anak, yang bisa menjadi fatal akibatnya bagi masa depan mereka. Kita selalu berdo’a, semoga anak-anak kita tumbuh menjadi generasi shalih dan shalihah serta berakhlak mulia.





















DAFTAR PUSTAKA
3.     Baron, R. A dan Donn Byrne. 2003. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga
4.     Richard R Clayton. 2003. The Family, Mariage and Social Change. hal. 58
5.     Anita L. Vangelis.2004. Handbook of Family Comunication. USA: Lawrence Elbraum Press. hal 349.
6.     Jhonson, C.L. 1988. Ex Familia. New Brunswick: Rutger University Press
7.     Fr Tderique Holdert dan Gerrit Antonides, “Family Type Effects on Household Members Decision Making”, Advances in Consumer Research Volume 24 (1997), eds. Merrie Brucks and Deborah J. MacInnis, Provo, UT: Association for Consumer Research, Pages: 48-54
8.     Hadikusumo, Kunaryo,dkk.1996. Pengantar Pendidikan. Semarang : IKIP Semarang Press.
9.     Arends, Richard I. (1997). Classroom Instruction and Management. New York :Mcgraw-Hill.
10. Depdiknas (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta : Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas .
11. Ibrahim, M. dkk. (2000). Pembelajaran Kooperatif. Surabaya : Unesa.
12. Khabibah, Siti. (1999). PengembanganPerangkat Pembelajaran Matematika Pokok Bahasan Aljabar dengan Penekanan Reciprocal Teaching. Tesis. Surabaya :UNESA.
13. Lie, Anita. (2004). Cooperatif Learning. Jakarta : Grasindo.
14. Nurhadi. (2004). Kurikulum 2004 Pertanyaan & Jawaban. Jakarta : Grasindo.
15. Nur, Muhammad. (1998). Pembelajaran Kooperatif (terjemahan Classroom Instruction and Management Bab III oleh Richard Arends) Surabaya : IKIP Surabaya.
16. Nur, Muhammad dan Wikandari, Prima Retno. (1998). Pendekatan-Pendekatan Konstruktivist dalam Pembelajaran. Surabaya : IKIP Surabaya.
17. Ranah, Lince. (2001). Efektivitas Model pembelajaran Kooperatif dengan Pendekatan Struktural pada Pokok Bahasan Persamaan Garis Lurus di Kelas II SLTP. Tesis. Surabaya : UNESA.
18. Slavin, E. Robert. (1994). Educational Psychologi Theory and Practice. Boston.
19. Soedjadi. (1992). Meningkatkan Minat Siswa terhadap Matematika. Surabaya : Media Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan.
20. Sulistyaningrum, Heny. (2006). Penerapan Pembelajaran Kooperatif Tipe TPS untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Fisika Siswa SMA. Tuban : IKIP PGRI Tuban.
21. Tanjung, Rosye Rita M. (1998). Penerapan Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD untuk Meningkatkan Kualitas Proses Belajar Mengajar Biologi. Tesis. Surabaya : IKIP Surabaya.
22. Wahyana. (1986). Pengelolaan Pembelajaran, Modul UT. Jakarta : Karunika.
23. Crist, T. A. J.; Washburn, A.; Park, H.; Hood, I.; Hickey, M. A. (1997). "Cranial Bone Displacement as a Taphonomic Process in Potential Child Abuse Cases". In Haglund, W. D. & Sorg, M. A. Forensic Taphonomy: the Postmortem Fate of Human Remains. Boca Raton: CRC Press. hlm. 319–336.
24. Crosson-Tower, C. (2008). Understanding Child Abuse and Neglect. Boston, MA: Pearson Education.
25. Finkelhor, D. (2008-02-19). Childhood Victimization: Violence, Crime, and Abuse in the Lives of Young People. Oxford University Press. hlm. 244. 
26. Hoyano, L.; Keenan C. (2007). Child Abuse: Law and Policy Across Boundaries. Oxford University Press.
27. Korbin, Jill E. (1983). Child abuse and neglect: cross-cultural perspectives. Berkeley, CA: University of California Press.

28. Turton, Jackie (2008). Child Abuse, Gender, and Society. New York: Routledge. hlm. 161.