Kamis, 18 Desember 2014


Tana Toraja
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan sekitar 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa.[1] Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk"). Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.
Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelum penjajahan Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi. "Toraja" (dari bahasa pesisir to, yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi. Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar—seperti suku Bugis, suku Makassar, dan suku Mandar yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi—daripada dengan sesama suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja. Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama—suku Bugis (meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang, pembuat kapal dan pelaut), dan suku Toraja (petani di dataran tinggi).










Maros

Air Terjun Bantimurung
Kawasan ini terletak di lembah bukit kapur / karas yang curam dengan vegetasi tropis yang subur, sehingga selain memiliki air terjun yang spektakuler juga menjadi habitat yang ideal bagi berbagai spesies kupu-kupu, burung dan serangga endemik yang langka. Air Terjun ini memiliki lebar 20 meter dan tinggi 15 meter. Di bawah curahan air terjun terdapat sebuah tempat pemandian dari landasan batu kapur yang keras dan tertutup lapisan mineral akibat aliran air selama ratusan tahun. Di sebelah kiri air terjun terdapat tangga beton setinggi 10 meter yang merupakan jalan menuju dua gua yang ada di sekitar air terjun, yaitu Gua Mimpi dan Gua Batu. Tempat ini berada di Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.

Taman Prasejarah Leang-Leang
Terletak pada deretan bukit kapur yang curam. Para arkeolog berpendapat bahwa beberapa gua yang terdapat di area ini pernah dihuni oleh manusia purba sekitar 3000 – 8000 tahun sebelum masehi, ditandai dengan terdapatnya lukisan-lukisan pra sejarah yang terdapat di dinding gua berupa gambar babi rusa, dan gambar telapak tangan. Selain itu juga ditemukan benda laut berupa karang yang menandakan bahwa gua tersebut pernah tenggelam dan dikelilingi oleh lautan. Taman Prasejarah Leang-Leang terletak sekitar 11 km dari di Kabupaten Maros.

Tempat Wisata Maros
Goa Pattunuang Maros
Tempat Wisata Maros di Desa Samangki, Simbang, dengan stalaktit dan stalakmit, ada batu besar berbentuk perahu yang disebut Biseang Labbororo (perahu terdampar), dengan panorama alam indah.
Makam Kassi Kebo Maros
Tempat Wisata Maros di Jl. Taqwa, Desa Baju Bodoa, Kec Turikale, yang merupakan kompleks pekuburan Karaeng Marusu dan keluarganya.
Makam Karaeng Simbang Maros
Tempat Wisata Maros di di Desa Samangki, Kec Simbang, yang merupakan kompleks pekuburan Karaeng Simbang beserta keluarganya.
Pantai Kuri Maros
Tempat Wisata Maros di Desa Nisombalia, Kecamatan Marusu, 23 km dari Kota Makassar, dengan pasir putih di sepanjang pantai, dan pemandangan matahari terbenam. Namun aksesnya kurang baik.
Pendopo Pallantikang Karaeng Marusu Maros
Tempat Wisata Maros di Desa Pallantikang, Kecamatan Turikale, yang merupakan tempat pelantikan Karaeng Marusu pada masa kerajaan masih ada.
Rumah Adat Karaeng Loe Ripakere Maros
Tempat Wisata Maros di Desa Pakere, Kecamatan Simbang, yang semula merupakan istana Karaeng Loe Ripakere, Raja Marusu pertama yang berkuasa sekitar abad XV.
Situs Prasejarah Leang-leang Maros
Tempat Wisata Maros di Kelurahan Kallabirang, Kecamatan Bantimurung, 30 menit dari Bantimurung, dengan goa di perbukitan kapur yang pernah dihuni manusia purba bergambar babi rusa dan telapak tangan.
Situs Prasejarah Leang Akkarrasa Rammang-rammang Maros
Tempat Wisata Maros di Desa Salenrang, Kec Bontoa, berupa dua buah gua dengan peninggalan prasejarah berupa lukisan cakra, babi rusa, ikan dan lukisan perahu.
Taman Safari Pucak Maros, Tempat Wisata Maros di Desa Pucak, Kec Tanralili, 20 km dari Kota Maros, 39 km dari Kota Makassar, seluas 150 Ha, yang terhenti pembangunannya saat Orde Baru runtuh, dan berubah menjadi agrowisata.